nasihat today

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (As Syura 30).

Monday, 28 December 2015

makalah aklimatisasi



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
            Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman  (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut berkembang menjadi tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu : tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk membentuk kultur masal sel/tunas yang belum/tidak terdiferensi. Tahap kedua multiplikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas/kalus dari hasil tahap pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk memproduksi tunas majemuk. Tahap ketiga rooting (pembentukan akar), yaitu pemindahan tunas-tunas terbaik hasil multiplikasi ke media perakaran dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklimatisasi, yaitu penyesuaian kondisi tempat tumbuh dari lingkungan in vitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan atau lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan yang baru (Herawan, 2000).
            Tahapan aklimatisasi ini diperlukan oleh planlet karena terdapat perbedaan kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklimatisasi planlet tidak akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, meliputi kelembaban udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996). Pada umumnya tanaman yang tumbuh secara in vitro membutuhkan proses aklimatisasi untuk meningkatkan ketahanannya ketika dipindahkan ke lapangan.




B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan aklimatisasi ?
2.      Apa tujuan aklimatisasi ?
3.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi ?
4.      Apa saja faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi ?
5.      Bagaimana metode dan tahapan aklimatisasi ?
6.      Bagaimana prosedur aklimatisasi
7.      Bagaimana teknik penyungkupan tanaman ?
8.      Bagaimana aplikasi dari aklimatisasi ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pentingnya aklimatisasi dalam kultur jaringan
2.      Untuk mengetahui teknik-teknik yang digunakan dalam proses aklimatisasi.
3.      Untuk mengetahui tujuan dilakukanya aklimatisasi.
4.      Untuk mengetahui aplikasi penerapan metode aplikasi dari jenis-jenis tanaman yang berbeda.















BAB II
PEMBAHASAN

A. AKLIMATISASI
            Pucuk-pucuk dan planlet dari in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dan bersifat heterotroph, harus berubah menjadi autotroph bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Proses pemindakan merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita (2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian.
            Menurut Basri (2004), aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media tanam (Seelye et al., 2003). Komponen cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan.
            Aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan bertujuan untuk menyesuaikan (prakondisi) dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo di rumah kaca dan persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh tanaman yang memiliki formasi perakaran dan tinggi yang lebih baik dan kokoh.
Planlet yang dapat diaklimatisasi adalah planlet yang telah lengkap organ pentingnya seperti daun akar dan batang (jika ada), sehingga dalam kondisi lingkungan luar planlet dapat melanjutkan perumbuhannya dengan baik. Selain itu aklimatisasi juga memerlukan media yang tepat untuk pertumbuhan planlet. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet kedalam polybag yang berisi media dan disungkup dengan plastik bening. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
 Pemindahan eksplan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generative (Pierik, 1997).

            Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang menguntungkan seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas yang tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009).
            Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv, 1986 dalam Pierik, 1987, aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang terkendali (in vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni et al. 2004).

B. Karakteristik Planlet Kultur In Vitro
            Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sangat berbeda bila dibandingkan dengan tanaman yang hidup pada kondisi in vivo. Beberapa karakteristik khas tanaman hasil perbanyakan in vitro diuraikan sebagai berikut (Zulkarnain, 2009):
1.      Daun
            Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin (kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam wadah kultur (90-100%). Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada kondisi in vivo jauh lebih rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadang-kadang memiliki daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air pada beberapa jam pertama aklimatisasi.
2.      Jaringan angkut  
            Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk dan akar sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan berkurangnya transport air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan in vitro tanaman bersifat heterotroph sedangkan pada keadaan in vivo tanaman dituntut untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya harus disuplai melalui fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
            Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo, misalnya akar yang terbentuk sedikit atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak berkembang dengan sempurna akan membuat pertumbuhanm tanaman pada kondisi in vivo sangat tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
            Untuk mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap aklimatisasi, dapat diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
  • Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk primordial akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in vivo,
  • Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro, misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan berfungsi secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
  • Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat memasuki tahap perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan auksin untuk merangsang pembentukan akar.

3.      Kemampuan bersimbiosis
            Planlet dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis dengan bakteri dan mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat terbatas pada saat dipindahkan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tahap Aklimatisasi
            Keberhasilan aklimatisasi ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca transplantasi dari media invitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit (Zulkarnain, 2009).
1.      Ukuran Bibit  
            Ukuran bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman. Penggunaan bibit kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati (Pardal et al. 2005). Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti et al. (2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh dengan baik dan sehat. Misalnya vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang berhasil diaklimatisasi adalah tinggi bibit 5−6 cm, jumlah tunas 2−3 buah, dan jumlah akar 2−4 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada tanaman lain, vigor kuantitatif yang meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun dalam kaitannya dengan persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber informasinya.
2.      Akar
            Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo yang berbeda.
3.      Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain, 2009):
·         Suhu Udara
            Selama dalam lingkungan in vitro, planlet memperoleh suhu yang relative sama, yaitu 25 ± 1°C. saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan mengalami variasi yang terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat mencapai 18°C pada malam hari atau 32°C pada siang hari. Kondisi suhu yang ekstrim, terutama suhu tunggi akan mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan, bahkan dapat berakibat pada kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, suhu di areal aklimatisasi harus diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in vitro, kemudian secara bertahap dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan tanaman.
·         Kelembaban udara
            Planlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan tinggi, berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak mengembangkan system pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi hendaknya dilakukan dengan menurunkan kelembaban udara secara bertahap. Pada tahap awal, planlet dapat di tempatkan di bawah sungkup plastik secara individual, kemudian sungkup tersebut dibuka dan planlet dipelihara di bawah naungan massal sebelum akhirnya dipindahkan ke lapangan.
·         Intensitas cahaya
            Intensitas cahaya memiliki hubungan yang erat dengan suhu dan kelembapan. Biasanya dengan intensitas cahaya yang tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu lingkungan yang tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan agar suhu dan kelembapan dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak membahayakan planlet. Pemberian naungan merupakan cara yang baik untuk menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan mempertahankan kelembapan agar tetap tinggi.
·         Infeksi penyakit
            Kematian bibit kultur sering disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Kondisi lingkungan tumbuh yang kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang bibit terserang hama. Luka akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi penyakit. Serangan penyakit yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri (Gunawan 1988). Menurut Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh pencucian bibit kultur yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada media berikutnya. Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah Pseudomonas sp. (Machmud 1986). Patogen layu bakteri ini dikenal memiliki kisaran inang dan daerah sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).

D. Faktor-Faktor Yang Harus Diperhatikan Untuk Keberhasilan Aklimatisasi
            Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997) memberikan anjuran sebagai berikut :
  • Untuk menghindari infeksi dari cendawan atau bakteri maka sisa-sisa medium (agar-agar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril sebagai substrat aklimatisasi.
  • Musnahkan semua hama atau pathogen, seperti serangga, siput, cendawan, dan bakteri karena kondisi planlet masih lamah sehingga sangat rentan terhadap serangan hama dan pathogen. Lakukan pemyemprotan pestisida secara teratur.
  • Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet pada tanah yang diayak (strukturnya seragam).
  • Gunakan medium dengan kadar garam yang rendah pada tahap perakaran. Misalnya komposisi medium MS ½
  • Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5°C) selama 4-8 minggu pertama untuk mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro. 
E. Tahap Aklimatisasi
1.      Seleksi plantlet
             Planlet yang akan diaklimatisasi terlebih dahulu diseleksi. Seleksi plantlet meliputi kondisi penampakan batang dan akar. Plantlet siap untuk diaklimatisasi ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar rambut
2.      Sterilisasi plantlet
            Planlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklimatisasi (rumah kaca) kemudian dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pinset secara hati-hati supaya akar tidak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter selama 2-3 menit.
3.      Penyiapan media aklimatisasi
Media yang digunakan untuk aklimatisasi disesuaikan dengan jenis yang akan ditanam. Pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media digoreng, disiram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain : media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.

4.      Penanaman plantlet
            Sebelum planlet ditanam terlebih dahulu media tanam disiram dengan air secukupnya, kemudian dibuat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara hatihati mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
5.      Pemeliharaan plantlet
            Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup masal), pengguntingan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan. Pembukaan dan pengguntingan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit tiap minggu hingga keseluruhannya terbuka.

F.  Metode Aklimatisasi Pada Tanaman Kultur Jaringan
                  Aklimatisasi atau penyesuaian terhadap lingkungan baru dari lingkungan yang terkendali ke lingkungan yang relatif berubah. Penyesuaian terhadap iklim pada lingkungan baru yang dikenal dengan aklimatisasi merupakan masalah penting apabila membudidayakan tanaman menggunakan bibit yang diperbanyak dengan teknik kultur jaringan (Khan, 2007). Masalah ini dapat terjadi karena beberapa faktor:
1.      pemindahan tanaman dari botol ke media dalam pot  sebenarnya telah menempatkan tanaman pada lingkungan yang tidak sesuai dengan habitatnya.
2.      Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan kedalam pot, maka  tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik secara endogenous.
            Perbedaan faktor lingkungan antara habitat asli dan habitat pot atau antara habitat kultur jaringan dengan habitat pot memerlukan penyesuaian agar faktor lingkungan tidak melewati batas kritis bagi tanaman. Salah satu metode yang digunakan pada proses aklimatisasi tanaman anggrek dari botol ke tanaman pot menurut lc nursery adalah sebagai berikut:
·         Bibit yang masih ada didalam botol dikeluarkan dengan hati-hati menggunakan kawat atau dengan memecahkan botol setelah dibungkus dengan kertas
·         Bibit kemudian dibilas diatas tray plastik berlubang sebelum disemprot dengan air mengalir untuk membersihkan sisa media agar
·         Tiriskan bibit yang sudah bersih diatas kertas koran.
·         Tanam bibit secara berkelompok tanpa media tanam, kemudian tempatkan ditempat teduh yang memiliki sirkulasi udara yang baik.
·         Tanaman disemprot setiap hari menggunakan hand sprayer.
·         Setelah kompot berumur 1-1.5 bulan, bibit dapat ditanam dalam individual pot menggunakan media pakis atau sabut kelapa.
Metode aklimatisasi ini adalah salah satu dari sekian banyak metode yang digunakan untuk melakukan aklimatisasi terhadap bibit anggrek botol dan disebut dengan metode kering. Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang digunakan, maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman sebagian besar didapat secara  eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik secara endogenous (Santana, 2010).
Metode aklimatisasi dibagi menjadi 2, yaitu metode langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect).
Metode langsung:
1)      Menyiapkan planlet dalam botol yang akan diaklimatisasi dan mengeluarkan planlet secara hati-hati dari dalam botol.
2)      Membersihkan akar tanaman dari agar-agar yang masih melekat dengan air.
3)       Merendam akar tanaman dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 5 menit.
4)      Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang telah dibasahi.
5)      Tutup bak dengan plastik transparan selam 1 - 2 minggu.
6)       Setelah 1 -2 minggu plastik dibuka dan tanaman dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam bak aklimatisasi hingga minggu ketiga sampai keempat.
7)       Selanjutnya tanaman dipindahkan ke dalam polibag-polibag kecil sampai siap untuk di tanam di lapang.
Metode tidak langsung:
1)   Menyiapkan planlet dalam botol yang akan diaklimatisasi dan mengeluarkan planlet secara hati-hati dari dalam botol
2)   Memotong tanaman tepat pada bagian bawah nodus ketiga kemudian merendamnya dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 5 menit.
3)    Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang telah dibasahi.
4)   Tutup bak dengan plastik transparan selam 1 - 2 minggu.
Aklimatisasi Planlet di Rumah Kaca Aklimatisasi merupakan tahap penting dalam proses kultur jaringan. Tahap ini sering kali menjadi titik kritis dalam aplikasi teknik kultur jaringan. Aklimatisasi diperlukan karena tanaman hasil kultur jaringan umumnya memiliki lapisan lilin tipis dan belum berkembang dengan baik, sel-sel dalam palisade belum berkembang maksimal, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang, dan stomata sering kali tidak berfungsi, yaitu tidak dapat menutup pada saat penguapan tinggi.






G. Perbedaan Aklimasi Dan Aklimatisasi
            Istilah aklimasi ditujukan pada proses suatu tanaman atau organisme hidup lain agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi lingkungan dan iklim yang baru sebagai hasil dari proses ilmiah. Misalnya tanaman yang akan tumbuh di lapangan akan mengalami aklimasi terhadap suhu rendah menjelang memasuki musim dingin(taji, 2001).
            Sementara itu istilah aklimatisasi menunjukan adanya campur tangan manusia dalam mengarahka proses penyesuaian tersebut. Karena manusia senantiasa terlibat dalam proses penyapihan tanaman dari kondisi in vitro agar dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi in vivo rumah kaca atau lapangan maka istilah yang digunakan pada tahap akhir mikropropagasi adalah aklimatisasi, bukan aklimasi (taji, 2001).
H. Prosedur Aklimatisasi
            Menurut taji et al.(2002), secara umum prosedur aklimatisasi diuraikan sebagai berikut.
Planlet-planlet yang akan di aklimatisasi dikeluarkan dalam wadah kultur. Agar-agar yang masih menempel dicuci bersih untuk membuang sumber kontaminasi. Selanjutnya, planlet tersebut ditanam pada medium tanah steril didalam pot kecil atau pada medium siap pakai pot jiffy. Pada awalnya, planlet harus dilindungi dari kerusakan dengan menempatkanya dibawah naungan, tenda berkelembapan tinggi, atau dibawah semprotan embun. Dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum terbentuknya akar0akar baru yang fungsional. Suhu udara diusahakan sama seperti di dalam ruang kultur. Intensitas cahaya  merupkan faktor penting untuk diperhatikan yaitu 30% dari cahaya lingkungan. Nutrisi yang terdapat di dalam medium tanah pun dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan.
Pada prinsipnya, tidak ada nutrisi tambhan yang perlu diberikan pada tiga hingga empat minggu pertama masa aklimatisasi. Saat planlet tunbuh dengan baik pada medium dalam pot, lplanlet tersebut harus secara perlahan-perlahan digadapkan pada kelembapan yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Setiap keadaan dormansi atau kondisi istirahat yang terjadi pada tanaman harus diatasi sebagai
bagian dari proses transplantasi.
Letakkan di alam terbuka di bawah naungan
Setelah daun-daun terbentuk turunkan kelembapan udara secra bertahap sehingga sama seperti kelembapan udara lingkunganya. (dirumah kaca)
Kultur yang sedang berpoliferasi
Panen pucuk-pucuk mikro
In vitro
In vivo
Tempatakan pada medium perakaran yang sesuai
Tunggu sampai jumlah akar memadai
Keluarkan pucuk-pucuk mikro yang telah berakar
Singkirkan agar-agar dari perakaran sambil diberi perlakuan fungisida
Tempatkan pada medium pengakaran dirumah kaca
Beri perlakuan zpt perangsang akar:
Dapat dilakukan secara invitro selam 3-7 hari dalam keadaan gelap total
Perlakuan dapat berubah pencelupan di dalam cairan atau pengolesan dengan bentuk serbuk
Pada spesies tertentu tidak diperlakuakan pelakuan ZPT perangasang akar
Berikan kelembapan udara tinggi dengan cara menyemprotkan kabut embun secara berkala atau penyungkupan dengan sungkup plastik transparan
Tempatkan dibawah cahaya matahari penuh
Secara bertahap hadapkan ke intensitas cahaya lebih tinggi
 





























Skema umum proses pengakaran dan aklimatisasi tanaman hasil perbanyakan kutur jaringan modifikasi dari Taji 2001.

I. Teknik Penyungkupan
            Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Sungkup tunggal
            Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap setiap
tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis tidak menguntungkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu dan kelembaban yang diperoleh oleh tanaman dapat lebih stabil.
2. Sungkup masal
            Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup dimana secara ekonomis penggunaan sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih praktis.

J. Aplikasi Aklimatisasi Di Kehutanan
            Tanaman hasil kultur jaringan khususnya tanaman kehutanan secara umum masih sulit untuk dipelihara sesuai dengan kondisi rumah kaca karena masih sangat peka. Oleh karena itu, perlu ada tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi yang sulit bagi tanaman yang lemah terutama menghadapi transisi dari media agar ke media tanah. Sehingga diharapkan tanaman mempunyai perakaran yang lebih baik, ketinggian yang memadai dan lebih kokoh.
            Tanaman kehutanan yang telah dikembangkan perbanyakannya melalui kultur jaringan seperti halnya jati, cendana, Acacia, Eucalyptus, suren, dll. Dari hasil pengamatan persen tumbuh untuk jenis tanaman jati, Acacia, Eucalyptus, suren dan cendana seperti pada Tabel berikut




Tabel 1. Persen Tumbuh Beberapa Tanaman Hasil Aklimatisasi di rumah kaca BBPBPTH
No
Jenis Tanaman
Komposisi Media
Jumlah
Diaklimatisasi
Jumlah
Hidup

Persen
Tumbuh
1
Jati (Tectona
grandis)

Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)

57
50
87,7
2
Acacia mangium
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)

46
39
84,4
3
Eucalyptus pellita 55 51 92,7
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)

55
51
92,7
4
Toona sinensis 68 65 95,6
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)

68
65
95,6
5
Santalum album 62 41 66,1
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)

62
41
66,1

            Dari tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa untuk jenis jati, Acacia, Eucalyptus dan suren mempunyai persen tumbuh tinggi, hal tersebut dikarenakan formasi akar telah cukup kuat sehingga mampu menyesuaikan pada media tanah. Sedangkan untuk jenis cendana (Santalum album) karakteristik formasi perakarannya miskin akar rambut walaupun sudah terbentuk sehingga banyak mengalami kematian dengan persen tumbuh kecil, disamping itu jenis ini tidak bisa berdiri sendiri hidupnya sehingga diperlukan adanya tanaman inang. Tanaman inang untuk di persemaian yang banyak digunakan pada umumnya jenis krokot merah (Altenanthera sp.). Lebih lanjut menurut Surata (2001) dinyatakan bahwa krokot merah merupakan tanaman inang primer yang paling baik untuk membantu pertumbuhan cendana. Selain itu krokot merah memenuhi syarat sebagai inang primer, yaitu mudah tumbuh kembali setelah dipangkas, mudah didapat, tidak menimbulkan kompetisi, sistem perakaran sukulen dan sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya.
            Menurut Bonga (1985) beberapa masalah yang juga dialami oleh tanaman kehutanan (berkayu) dari hasil kultur jaringan pada saat akan dipindahkan ke lapangan, yaitu :
1. Planlet tidak dapat bertahan hidup jika dipindah secara tiba-tiba
2. Planlet mengering setelah dipindahkan
3. Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan
4. Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan
            Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan aklimatisasi, dimana aklimatisasi dari tanaman berkayu bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya, tergantung pada sistem yang digunakan dan respon jenis tanaman terhadap manipulasi setelah dikulturkan. Alternatif yang sering digunakan adalah dengan mengakarkan plantlet pada media non agar secara in vivo, misal pada vermikulit atau media lainnya.

K. Teknik Aplikasi Aklimatisasi Tanaman Anggrek
1.      Kriteria planlet siap aklimatisasi
Adapun criteria planlet yang siap Untuk diaklimatisasi adalah sebagai berikut:
a.       Organ planlet lengkap ( akar, batang, daun )
b.      Warna pucuk batang hijau mantap artinya  tidak tembus pandang
c.       Pertumbuhannya kekar
d.      Akar memenuhi media
e.       Ukuran tinggi tanaman 3 – 4 cm  ( tergantung jenis tanaman )
f.       Umur tanaman ( anggrek 4 bulan)
2.      Prosedur aklimatisasi  aklimatisasi
1.      Menyiapkan wadah
Wadah merupakan tempat yang brisi media tumbuh tanaman hasil kultur. Jenis wadah yang dapat digunakan meliputi ; Pot terbuat dari tanah liat atau plastik, sabut kelapa tua, tempurung kelapa tua dan batang pakis. Wadah yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
FHarus memiliki lubang pembuangan air (draenase)
FHarus memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelembaban media tanam
FTidak mudah lapuk
FHarus bersih dan bebas dari berbagai penyakit
FMudah diperoleh dan harganya murah
2.      Menyiapkan media
Media merupakan tempat tumbuh dan berdiri tegaknya tanaman. Persyaratan Media tanam Untuk aklimatisasi adalah :
>Mampu mengikat air dan unsur hara secara baik
>Harus memiliki kemampuan untuk menjaga kelembaban
>Mempunyai aerasi yang baik
>Tahan lama /Tidak mudah lapuk
>Tidak menjadi sumber penyakit
>Derajat keasaman (pH) 5 – 6
>Mudah didapat dan harganya murah
Media yang biasa digunakan Untuk tanaman hasil kultur meliputi ; Pakis ( anggrek ), Moss, Potongan kayu pinus, Arang sekam (pisang), Pasir steril ( Jati) dan Sabut Kelapa. Sebelum digunakan media tersebut harus diseterilkan selama 4 jam agar serangga, mikroba, serta biji-bijian gulma mati.
3.      Menyiapkan tempat
Tempat yang digunakan Untuk memelihara tanaman hasil kultur harus mempunyai Intensitas cahaya matahari : 35 – 45%, Suhu : malam 18-240 C, siang 21-320 C, Ketinggian tempat : 0 – 700 meter DPL, Kelembaban : 60 – 85% dan mempunyai Aerasi / sirkulasi udara. Dalam memilih tempat harus memperhatikan hal-hal berikut :
>Lingkungan harus bersih dan bebas dari segala hama dan penyakit
>Kondisi lingkungan disesuaikan dengan kondisi tanaman: suhu, kelembaban dan cahaya
3.      Media Tumbuh
Tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar dapat tumbuh dengan baik, sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu media yang dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi tersebut. Media yang remah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air, mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan unsur haranya tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama.
Media harus bersifat menyimpan air dan tidak mudah memadat. Media padat menyebabkan air tergenang sehingga aerasi udara rendah. Gejala yang tampak, daun dan batang menjadi layu. Akar sehat biasanya bewarna putih dan memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi rendah, akar yang putih berubah jadi coklat lalu menghitam. Jumlah rambut akar berkurang bahkan tak ada. Padahal ia berfungsi untuk menyerap hara. Selain masalah aerasi, media padat juga mengundang bakteri dan cendawan penyebab busuk.
Pakis baik untuk media anggrek karena memiliki daya mengikat air, serta aerasi dan draenase yang baik. Pakis juga sangat awet karena melapuk secara perlahan-lahan dan mengandung unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya. Arang merupakan media yang cukup baik untuk digunakan karena tidak cepat lapuk dan tidak mudah ditumbuhi cendawan dan bakteri. Namun, arang sukar mengikat air dan miskin zat hara. Serabut kelapa mudah melapuk dan mudah busuk, sehingga dapat menjadi sumber penyakit tetapi daya menyimpan air sangat baik dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan serta mudah didapat dan murah harganya.().
 4. Bahan dan alat
Alat :
1.    Pinset, 
2.    Hand sprayer
3.    Pot Penampan
Bahan :
1.    Air
2.    12 plantet tanaman anggrek hasil kultur in vitro
3.    Akar pakis
4.    Arang kayu
5.  Teknik pelaksanaan aklimatisasi
Adapun teknik yang digunakan dalam aklimatisasi adalah sebagai berikut :
a.     Planlet  Dikeluarkan dari botol
>Diisi air ke dalam bibit botolan, kocok-kocok dan membuang  air serta media agar
>Bibit dikeluarkan dari botol menggunakan pinset / kawat pengait satu persatu
>Dicuci bibit hingga bersih dari media agar
>Akar-akar yang terlalu panjang dipotong dengan gunting        
b.      Direndam bibit dalam larutan fungisida
>Bibit direndam selama 5 menit
>Ditiriskan bibit di hamparan kertas koran
>Bibit dikelompokkan berdasarkan ukurannya
c.       Diisi media dalam wadah
>Media sebelum digunakan direndam dalam larutan fungisida
>Pot diisi dengan  media ¾ tinggi pot
d.      Ditanam bibit dalam pot
>Bibit ditanam dengan bantuan pinset, letakkan secara tegak
>Bibit ditanam 8 tanaman per pot
e.       Diletakkan pot bibit dalam green house / ruang aklimatisasi








L. Contoh Aklimatisasi Planlet Kentang
a. bahan dan alat
bahan dan alat yang diperlukan dalam prosedur aklimatisasi ini adalah
1.      Pucuk invitro  kentang yang sehat dan yang telah dihadapkan pada cahaya dengan intensitas tinggi.
2.      Medium tumbuh dapat menggunakan :
·         Medium pot jiffy yang merupkan medium siap pakai
·         Medium campuran buatan sendiri terdiri atas kompos steril tanah steril, dan pasir steril dengan komposisi 1:1:1
3.      Botol selai untuk menutupi pucuk agar kelembapan udara terjaga.
4.      Baskom plastik untuk tempat meletakan pot planlet.
5.      Screen house yang terbuat dari rumah plastik sederhana
6.      Pinset
7.      Kantong plastik transparan ukuran besar untuk menyungkup baskom plastik
8.      Hand sprayer
b. cara kerja
1.      Siapkan medium tumbuh :
a)      Isi bak plastik dengan air sampai kira-kira 1 cm dari dasar bak, lalu masukan pot jiffy di dalamnya.
b)      Rendam pot jiffy didalam air sampai mengembang.
2.      Pucuk kentang dikeluarkan dari botol dengan pinset secara hati-hati
3.      Bersihkan pucuk dari sisa-sisa agar-agar dengan mencucinya di kran atau gelas piala besar sambil di kocok-kocok. Agar-agar yang tertinggar di planlet dapat menjadi sumber infeksi patogen
4.      Pucuk-pucuk yang terlalu panjang dapat di potong menjadi dua bagian
5.      Rendam pucuk tersebut didalam larutan dithane M-45® atau Benlate® selama kira-kira 10 menit, lalu keringkan.
6.      Setelah kering tanamkan pucuk pada medium tumbuh (pot jiffy)atau campuran kompos+tanah+pasir steril) dan letakkan di dalam baskom plastik.
7.      Tutuplah (sungkuplah) pot-pot di dalam plastik tersebut dengan botol selai
8.      Keseluruhan baskom selanjutnya disungkup dengan kantong plastik
9.      Letakkan baskom di dalam screen house
10.  Lakukan pemeriksaan setiap hari
11.  Jangan memberikan air secara berlebihan dan catat presentasi pucuk yang kering atau mati.


























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Tanaman hasil kultur jaringan tidak bisa langsung ditanam begitu saja dalam pot. Pucuk-pucuk dan planlet in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan dengan kelembaban tinggi dan bersifat heterotrof, harus berubah menjadi autotrof bila dipindahkan ke tanah atau lapangan.  Tanaman hasil kultur jaringan (planlet atau tunas mikro) perlu mendapatkan perlakuan khusus untuk dapat hidup di lingkungan baru hingga menjadi bibit baru yang siap ditanam di lapang. Proses pemindahan merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi merupakan tahapan kritis karena kondisi iklim dilapang sangat berbeda dengan kondisi dalam botol, sehingga diperlukan penyesuaian. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi teknik kultur jaringan untuk mendukung pengembangan pertanian.
Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang digunakan, maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman sebagian besar didapat secara  eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik secara endogenous.







DAFTAR PUSTAKA
1.      Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique. Di dalam J.M. Bonga and D.J. Durzan (Penyunting). Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ,. Nedherlands.
2.      Endin Izudin. 2013. Teknik Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.Jurnal Informasi Teknis Vol.11 No. 2, September 2013, 49 – 56
3.      Gunardi, Tom. 1985. Anggrek untuk pemula. Penerbit Angkasa, Bandung
4.      Herawan, T. dan Hendrati., R.L. 1996. Petunjuk Teknis Kegiatan Kultur Jaringan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan. Yogyakarta.
5.      Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan Tahunan Penelitian TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
6.      Khan, S., 2007. Callus induction, plant and regeneration acclimatization of African Violet (Saintpaulia ionatha)  using leaves as explants. Universitas Karachi, Karachi-75270, Pakistan
7.      Kristina, N., 2008. Multiplikasi tunas, aklimatisasi dan analisis mutu simplisia daun encok (plumbago zeylanica l.) asal kultur in vitro periode panjang. Bul. Littro. Vol. XIX No. 2
8.      Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. Netherlandsv
9.      Nugroho, A. dan. Sugito. H, 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta
10.  Rahardja, PE. 1988. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern . Penebar Swadaya. Jakarta.
11.  Ritchie GA, KC Short, MR Davey. 1991. In Vitro Acclimatization of Crisanthemum and sugar beat plantlets by treatment with paclobutrazol and exposure to reduced humidity. J of Exp Bot. 42 (12) : 1557-1563.
12.  Santana, D., 2010. Micropropagation and acclimatization Bauhinia. African Journal of Biotechnology Vol. 10
13.  Slamet et al. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In Vitro. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011.
14.  Susanti D. 2005. Pengujian berbagai media aklimatisasi untuk planlet tebu kultivar PA 117 dan PA 198. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.
15.  Surata, K., 2001. Sekilas Mengenai Cendana. Edisi khusus masalah cendana NTT. Berita Biologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Botani. Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor
16.  Sitti Fatimah Syahid dan Natalini Nova Kristina,2008.  Multiplikasi Tunas, Aklimatisasi Dan Analisis Mutu Simplisia Daun Encok (Plumbago zylanica L.) Asal Kultur In Vitro Periode Panjang. jurnal Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Vol. XIX No. 2, 2008, 117 - 128