BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan suatu
metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman
(sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya
dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut berkembang menjadi
tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat
tahapan, yaitu : tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan
jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk
membentuk kultur masal sel/tunas yang belum/tidak terdiferensi. Tahap kedua
multiplikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas/kalus dari hasil tahap
pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk
memproduksi tunas majemuk. Tahap ketiga rooting (pembentukan akar), yaitu
pemindahan tunas-tunas terbaik hasil multiplikasi ke media perakaran dengan
tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi
planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklimatisasi, yaitu penyesuaian
kondisi tempat tumbuh dari lingkungan in vitro ke tempat tumbuh di rumah
kaca dan atau lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan
lingkungan yang baru (Herawan, 2000).
Tahapan aklimatisasi ini diperlukan
oleh planlet karena terdapat perbedaan kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut.
Tanpa proses aklimatisasi planlet tidak akan mampu tumbuh dan beradaptasi
dengan kondisi luar, meliputi kelembaban udara, intensitas cahaya, suhu dan
media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996). Pada umumnya tanaman yang tumbuh
secara in vitro membutuhkan proses aklimatisasi untuk meningkatkan
ketahanannya ketika dipindahkan ke lapangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang di maksud dengan aklimatisasi ?
2. Apa
tujuan aklimatisasi ?
3. Apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi ?
4. Apa saja faktor-faktor
yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi ?
5. Bagaimana
metode dan tahapan aklimatisasi ?
6. Bagaimana
prosedur aklimatisasi
7. Bagaimana
teknik penyungkupan tanaman ?
8. Bagaimana
aplikasi dari aklimatisasi ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pentingnya aklimatisasi dalam kultur jaringan
2. Untuk
mengetahui teknik-teknik yang digunakan dalam proses aklimatisasi.
3. Untuk
mengetahui tujuan dilakukanya aklimatisasi.
4. Untuk
mengetahui aplikasi penerapan metode aplikasi dari jenis-jenis tanaman yang
berbeda.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
AKLIMATISASI
Pucuk-pucuk dan planlet dari in
vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan dengan kelembaban yang tinggi
dan bersifat heterotroph, harus berubah menjadi autotroph bila dipindahkan ke
tanah atau lapangan. Proses pemindakan merupakan langkah akhir dari prosedur
mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita
(2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro
hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke lingkungan in vivo yang aseptik.
Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi kultur
jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian.
Menurut Basri (2004), aklimatisasi
merupakan proses pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar
yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi
kultur jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban
relatif, di samping hara dan media tanam (Seelye et al., 2003). Komponen
cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan.
Aklimatisasi tanaman hasil kultur
jaringan bertujuan untuk menyesuaikan (prakondisi) dari lingkungan in vitro ke
lingkungan in vivo di rumah kaca dan persemaian, dari kegiatan tersebut
diharapkan diperoleh tanaman yang memiliki formasi perakaran dan tinggi yang
lebih baik dan kokoh.
Planlet yang dapat diaklimatisasi adalah planlet yang telah
lengkap organ pentingnya seperti daun akar dan batang (jika ada), sehingga
dalam kondisi lingkungan luar planlet dapat melanjutkan perumbuhannya dengan
baik. Selain itu aklimatisasi juga memerlukan media yang tepat untuk
pertumbuhan planlet. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet kedalam
polybag yang berisi media dan disungkup dengan plastik bening. Sungkup
digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit
karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama
penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan
barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit
dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Pemindahan eksplan
dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan
hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan
barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit
dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generative (Pierik,
1997).
Masa
aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang
diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang
menguntungkan seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik,
kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang
berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika
penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka
terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas
yang tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in
vitro memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap
kondisi kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang
cukup penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum
membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009).
Penyesuaian
bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu tahapan yang harus
dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv, 1986 dalam
Pierik, 1987, aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur
heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan
kultur in vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang
terkendali (in vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni
et al. 2004).
B.
Karakteristik Planlet Kultur In Vitro
Tanaman yang berasal dari kultur in
vitro sangat berbeda bila dibandingkan dengan tanaman yang hidup pada kondisi
in vivo. Beberapa karakteristik khas tanaman hasil perbanyakan in vitro
diuraikan sebagai berikut (Zulkarnain, 2009):
1.
Daun
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin (kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam wadah kultur (90-100%). Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada kondisi in vivo jauh lebih rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadang-kadang memiliki daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air pada beberapa jam pertama aklimatisasi.
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin (kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam wadah kultur (90-100%). Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada kondisi in vivo jauh lebih rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadang-kadang memiliki daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air pada beberapa jam pertama aklimatisasi.
2.
Jaringan
angkut
Pada
planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk dan akar
sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan berkurangnya
transport air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan in vitro
tanaman bersifat heterotroph sedangkan pada keadaan in vivo tanaman dituntut
untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya harus disuplai melalui
fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
Sistem
perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung mudah rusak
dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo, misalnya akar yang
terbentuk sedikit atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak berkembang dengan
sempurna akan membuat pertumbuhanm tanaman pada kondisi in vivo sangat
tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
Untuk
mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap aklimatisasi, dapat
diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
- Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk primordial akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in vivo,
- Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro, misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan berfungsi secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
- Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat memasuki tahap perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan auksin untuk merangsang pembentukan akar.
3. Kemampuan bersimbiosis
Planlet
dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis dengan bakteri
dan mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat terbatas pada
saat dipindahkan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.
C.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tahap Aklimatisasi
Keberhasilan aklimatisasi ditentukan
oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah kondisi planlet (ukuran bibit,
perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang digunakan dan
kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca transplantasi dari media
invitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit
(Zulkarnain, 2009).
1.
Ukuran
Bibit
Ukuran
bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman. Penggunaan
bibit kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati (Pardal et
al. 2005). Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti et al.
(2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh
dengan baik dan sehat. Misalnya vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang
berhasil diaklimatisasi adalah tinggi bibit 5−6 cm, jumlah tunas 2−3 buah, dan
jumlah akar 2−4 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada tanaman lain, vigor kuantitatif
yang meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun dalam kaitannya
dengan persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber
informasinya.
2.
Akar
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo yang berbeda.
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo yang berbeda.
3.
Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain, 2009):
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain, 2009):
·
Suhu
Udara
Selama dalam lingkungan in vitro,
planlet memperoleh suhu yang relative sama, yaitu 25 ± 1°C. saat dipindahkan ke
kondisi in vivo maka suhu udara akan mengalami variasi yang terkadang cukup
besar. Suhu lingkungan in vivo dapat mencapai 18°C pada malam hari atau 32°C
pada siang hari. Kondisi suhu yang ekstrim, terutama suhu tunggi akan
mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan, bahkan dapat berakibat pada
kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, suhu di areal aklimatisasi harus
diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in vitro, kemudian secara bertahap
dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan tanaman.
·
Kelembaban
udara
Planlet hasil mikropropagasi
terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan tinggi, berkisar 90-100%.
Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak mengembangkan system pertahanan yang
baik dalam menghadapi cekaman kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi
hendaknya dilakukan dengan menurunkan kelembaban udara secara bertahap. Pada
tahap awal, planlet dapat di tempatkan di bawah sungkup plastik secara
individual, kemudian sungkup tersebut dibuka dan planlet dipelihara di bawah
naungan massal sebelum akhirnya dipindahkan ke lapangan.
·
Intensitas
cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan
yang erat dengan suhu dan kelembapan. Biasanya dengan intensitas cahaya yang
tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu lingkungan yang tinggi pula disertai
dengan rendahnya kelembapan udara, dan sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas
cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan agar suhu dan kelembapan dapat
dipertahankan pada tingkat yang tidak membahayakan planlet. Pemberian naungan
merupakan cara yang baik untuk menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan
mempertahankan kelembapan agar tetap tinggi.
·
Infeksi
penyakit
Kematian bibit kultur sering
disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Kondisi lingkungan tumbuh yang
kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang bibit terserang hama. Luka
akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi penyakit. Serangan penyakit
yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri (Gunawan 1988). Menurut
Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh pencucian bibit kultur
yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada media berikutnya.
Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah Pseudomonas sp. (Machmud
1986). Patogen layu bakteri ini dikenal memiliki kisaran inang dan daerah
sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).
D.
Faktor-Faktor Yang Harus Diperhatikan Untuk Keberhasilan Aklimatisasi
Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997) memberikan anjuran sebagai berikut :
Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997) memberikan anjuran sebagai berikut :
- Untuk menghindari infeksi dari cendawan atau bakteri maka sisa-sisa medium (agar-agar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril sebagai substrat aklimatisasi.
- Musnahkan semua hama atau pathogen, seperti serangga, siput, cendawan, dan bakteri karena kondisi planlet masih lamah sehingga sangat rentan terhadap serangan hama dan pathogen. Lakukan pemyemprotan pestisida secara teratur.
- Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet pada tanah yang diayak (strukturnya seragam).
- Gunakan medium dengan kadar garam yang rendah pada tahap perakaran. Misalnya komposisi medium MS ½
- Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5°C) selama 4-8 minggu pertama untuk mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro.
E. Tahap Aklimatisasi
1.
Seleksi plantlet
Planlet yang akan diaklimatisasi terlebih
dahulu diseleksi. Seleksi plantlet meliputi kondisi penampakan batang dan akar.
Plantlet siap untuk diaklimatisasi ditandai dengan batang hijau tua dan telah
mempunyai akar tunggang dan akar rambut
2.
Sterilisasi plantlet
Planlet
hasil seleksi dibawa ke ruang aklimatisasi (rumah kaca) kemudian dikeluarkan
dari botol dengan menggunakan pinset secara hati-hati supaya akar tidak putus.
Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air mengalir, selanjutnya
direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter selama 2-3 menit.
3.
Penyiapan media aklimatisasi
Media yang digunakan untuk aklimatisasi
disesuaikan dengan jenis yang akan ditanam. Pada umumnya media yang digunakan
adalah top soil, pasir halus, sekam padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi
media dapat dilakukan dengan cara media digoreng, disiram dengan air mendidih
dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal penyiapan dan pemilihan media ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain : media cukup terjaga
kebersihannya (terbebas dari mikroba), media cukup aerasi (porositas) dan media
cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.
4.
Penanaman plantlet
Sebelum
planlet ditanam terlebih dahulu media tanam disiram dengan air secukupnya,
kemudian dibuat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara hatihati mengingat
formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman sebaiknya dilakukan
pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
5.
Pemeliharaan plantlet
Kegiatan
pemeliharaan meliputi penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup masal), pengguntingan
ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan. Pembukaan dan pengguntingan
sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit tiap minggu hingga
keseluruhannya terbuka.
F. Metode Aklimatisasi Pada Tanaman Kultur
Jaringan
Aklimatisasi
atau penyesuaian terhadap lingkungan baru dari lingkungan yang terkendali ke
lingkungan yang relatif berubah. Penyesuaian terhadap iklim pada lingkungan
baru yang dikenal dengan aklimatisasi merupakan masalah penting apabila
membudidayakan tanaman menggunakan bibit yang diperbanyak dengan teknik kultur
jaringan (Khan, 2007). Masalah ini dapat terjadi karena beberapa faktor:
1.
pemindahan
tanaman dari botol ke media dalam pot sebenarnya telah menempatkan
tanaman pada lingkungan yang tidak sesuai dengan habitatnya.
2.
Tumbuhan
yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki kondisi
lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman sebagian
besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan kedalam
pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik
secara endogenous.
Perbedaan faktor lingkungan antara
habitat asli dan habitat pot atau antara habitat kultur jaringan dengan habitat
pot memerlukan penyesuaian agar faktor lingkungan tidak melewati batas kritis
bagi tanaman. Salah satu metode yang digunakan pada proses aklimatisasi tanaman
anggrek dari botol ke tanaman pot menurut lc nursery adalah sebagai berikut:
·
Bibit
yang masih ada didalam botol dikeluarkan dengan hati-hati menggunakan kawat
atau dengan memecahkan botol setelah dibungkus dengan kertas
·
Bibit
kemudian dibilas diatas tray plastik berlubang sebelum disemprot dengan air
mengalir untuk membersihkan sisa media agar
·
Tiriskan
bibit yang sudah bersih diatas kertas koran.
·
Tanam
bibit secara berkelompok tanpa media tanam, kemudian tempatkan ditempat teduh
yang memiliki sirkulasi udara yang baik.
·
Tanaman
disemprot setiap hari menggunakan hand sprayer.
·
Setelah
kompot berumur 1-1.5 bulan, bibit dapat ditanam dalam individual pot
menggunakan media pakis atau sabut kelapa.
Metode aklimatisasi ini adalah salah satu dari sekian banyak
metode yang digunakan untuk melakukan aklimatisasi terhadap bibit anggrek botol
dan disebut dengan metode kering. Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode
yang digunakan, maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga
perlu diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur
jaringan memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang
digunakan tanaman sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena
itu, apabila dipindahkan kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat
sendiri bahan organik secara endogenous (Santana, 2010).
Metode aklimatisasi dibagi menjadi 2, yaitu
metode langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect).
Metode langsung:
1)
Menyiapkan planlet dalam botol yang akan diaklimatisasi dan
mengeluarkan planlet secara hati-hati dari dalam botol.
2)
Membersihkan akar tanaman dari agar-agar yang masih melekat dengan
air.
3)
Merendam akar tanaman
dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 5 menit.
4)
Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang telah dibasahi.
5)
Tutup bak dengan plastik transparan selam 1 - 2 minggu.
6)
Setelah 1 -2 minggu
plastik dibuka dan tanaman dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam bak
aklimatisasi hingga minggu ketiga sampai keempat.
7)
Selanjutnya tanaman
dipindahkan ke dalam polibag-polibag kecil sampai siap untuk di tanam di
lapang.
Metode tidak langsung:
1) Menyiapkan planlet dalam
botol yang akan diaklimatisasi dan mengeluarkan planlet secara hati-hati dari
dalam botol
2) Memotong tanaman tepat
pada bagian bawah nodus ketiga kemudian merendamnya dalam larutan fungisida dan
bakterisida selama 5 menit.
3) Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang
telah dibasahi.
4) Tutup bak dengan plastik
transparan selam 1 - 2 minggu.
Aklimatisasi Planlet di Rumah Kaca Aklimatisasi
merupakan tahap penting dalam proses kultur jaringan. Tahap ini sering kali
menjadi titik kritis dalam aplikasi teknik kultur jaringan. Aklimatisasi
diperlukan karena tanaman hasil kultur jaringan umumnya memiliki lapisan lilin
tipis dan belum berkembang dengan baik, sel-sel dalam palisade belum berkembang
maksimal, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang, dan stomata
sering kali tidak berfungsi, yaitu tidak dapat menutup pada saat penguapan
tinggi.
G. Perbedaan Aklimasi Dan
Aklimatisasi
Istilah aklimasi ditujukan pada
proses suatu tanaman atau organisme hidup lain agar dapat menyesuaikan diri
dengan kondisi atau situasi lingkungan dan iklim yang baru sebagai hasil dari
proses ilmiah. Misalnya tanaman yang akan tumbuh di lapangan akan mengalami
aklimasi terhadap suhu rendah menjelang memasuki musim dingin(taji, 2001).
Sementara itu istilah aklimatisasi
menunjukan adanya campur tangan manusia dalam mengarahka proses penyesuaian tersebut.
Karena manusia senantiasa terlibat dalam proses penyapihan tanaman dari kondisi
in vitro agar dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi in vivo rumah kaca atau
lapangan maka istilah yang digunakan pada tahap akhir mikropropagasi adalah
aklimatisasi, bukan aklimasi (taji, 2001).
H. Prosedur Aklimatisasi
Menurut taji et al.(2002), secara
umum prosedur aklimatisasi diuraikan sebagai berikut.
Planlet-planlet
yang akan di aklimatisasi dikeluarkan dalam wadah kultur. Agar-agar yang masih
menempel dicuci bersih untuk membuang sumber kontaminasi. Selanjutnya, planlet
tersebut ditanam pada medium tanah steril didalam pot kecil atau pada medium
siap pakai pot jiffy. Pada awalnya, planlet harus dilindungi dari kerusakan
dengan menempatkanya dibawah naungan, tenda berkelembapan tinggi, atau dibawah
semprotan embun. Dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum terbentuknya akar0akar
baru yang fungsional. Suhu udara diusahakan sama seperti di dalam ruang kultur.
Intensitas cahaya merupkan faktor
penting untuk diperhatikan yaitu 30% dari cahaya lingkungan. Nutrisi yang
terdapat di dalam medium tanah pun dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan.
Pada
prinsipnya, tidak ada nutrisi tambhan yang perlu diberikan pada tiga hingga
empat minggu pertama masa aklimatisasi. Saat planlet tunbuh dengan baik pada
medium dalam pot, lplanlet tersebut harus secara perlahan-perlahan digadapkan
pada kelembapan yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Setiap keadaan
dormansi atau kondisi istirahat yang terjadi pada tanaman harus diatasi sebagai
bagian
dari proses transplantasi.
Letakkan di alam terbuka di bawah naungan
|
Setelah daun-daun terbentuk turunkan kelembapan udara
secra bertahap sehingga sama seperti kelembapan udara lingkunganya.
(dirumah kaca)
|
Kultur yang
sedang berpoliferasi
|
Panen pucuk-pucuk
mikro
|
In vitro
|
In vivo
|
Tempatakan pada medium perakaran yang sesuai
|
Tunggu sampai jumlah akar memadai
|
Keluarkan pucuk-pucuk mikro yang telah berakar
|
Singkirkan agar-agar dari perakaran sambil diberi
perlakuan fungisida
|
Tempatkan pada medium pengakaran dirumah kaca
|
Beri perlakuan zpt perangsang akar:
Dapat dilakukan secara invitro selam 3-7 hari dalam
keadaan gelap total
Perlakuan dapat berubah pencelupan di dalam cairan atau
pengolesan dengan bentuk serbuk
Pada spesies tertentu tidak diperlakuakan pelakuan ZPT
perangasang akar
|
Berikan kelembapan udara tinggi dengan cara
menyemprotkan kabut embun secara berkala atau penyungkupan dengan sungkup
plastik transparan
|
Tempatkan dibawah cahaya matahari penuh
|
Secara bertahap hadapkan ke intensitas cahaya lebih
tinggi
|
Skema
umum proses pengakaran dan aklimatisasi tanaman hasil perbanyakan kutur
jaringan modifikasi dari Taji 2001.
I.
Teknik Penyungkupan
Penyungkupan yaitu suatu teknik
untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban, serta meningkatkan daya tahan
terhadap cahaya matahari secara langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu :
1.
Sungkup tunggal
Sungkup tunggal yaitu sungkup yang
dilakukan satu persatu terhadap setiap
tanaman.
Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis tidak menguntungkan
dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu dan kelembaban yang diperoleh oleh
tanaman dapat lebih stabil.
2.
Sungkup masal
Sungkup masal yaitu penyungkupan
yang dilakukan terhadap seluruh tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal
tertentu. Pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup
dimana secara ekonomis penggunaan sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih
praktis.
J.
Aplikasi Aklimatisasi Di Kehutanan
Tanaman hasil kultur jaringan
khususnya tanaman kehutanan secara umum masih sulit untuk dipelihara sesuai
dengan kondisi rumah kaca karena masih sangat peka. Oleh karena itu, perlu ada
tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi yang sulit bagi
tanaman yang lemah terutama menghadapi transisi dari media agar ke media tanah.
Sehingga diharapkan tanaman mempunyai perakaran yang lebih baik, ketinggian yang
memadai dan lebih kokoh.
Tanaman kehutanan yang telah
dikembangkan perbanyakannya melalui kultur jaringan seperti halnya jati,
cendana, Acacia, Eucalyptus, suren, dll. Dari hasil pengamatan persen tumbuh
untuk jenis tanaman jati, Acacia, Eucalyptus, suren dan cendana seperti pada Tabel
berikut
Tabel 1. Persen Tumbuh Beberapa
Tanaman Hasil Aklimatisasi di rumah kaca BBPBPTH
No
|
Jenis Tanaman
|
Komposisi Media
|
Jumlah
Diaklimatisasi
|
Jumlah
Hidup
|
Persen
Tumbuh
|
1
|
Jati (Tectona
grandis)
|
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)
|
57
|
50
|
87,7
|
2
|
Acacia mangium
|
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)
|
46
|
39
|
84,4
|
3
|
Eucalyptus pellita
55 51 92,7
|
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)
|
55
|
51
|
92,7
|
4
|
Toona sinensis 68 65 95,6
|
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)
|
68
|
65
|
95,6
|
5
|
Santalum album 62 41 66,1
|
Top soil + Kompos
+ arang sekam padi
(2:1:1)
|
62
|
41
|
66,1
|
Dari tabel 1 tersebut menunjukkan
bahwa untuk jenis jati, Acacia, Eucalyptus dan suren mempunyai persen tumbuh
tinggi, hal tersebut dikarenakan formasi akar telah cukup kuat sehingga mampu
menyesuaikan pada media tanah. Sedangkan untuk jenis cendana (Santalum album)
karakteristik formasi perakarannya miskin akar rambut walaupun sudah terbentuk
sehingga banyak mengalami kematian dengan persen tumbuh kecil, disamping itu
jenis ini tidak bisa berdiri sendiri hidupnya sehingga diperlukan adanya
tanaman inang. Tanaman inang untuk di persemaian yang banyak digunakan pada
umumnya jenis krokot merah (Altenanthera sp.). Lebih lanjut menurut
Surata (2001) dinyatakan bahwa krokot merah merupakan tanaman inang primer yang
paling baik untuk membantu pertumbuhan cendana. Selain itu krokot merah
memenuhi syarat sebagai inang primer, yaitu mudah tumbuh kembali setelah
dipangkas, mudah didapat, tidak menimbulkan kompetisi, sistem perakaran sukulen
dan sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya.
Menurut Bonga (1985) beberapa
masalah yang juga dialami oleh tanaman kehutanan (berkayu) dari hasil kultur
jaringan pada saat akan dipindahkan ke lapangan, yaitu :
1.
Planlet tidak dapat bertahan hidup jika dipindah secara tiba-tiba
2.
Planlet mengering setelah dipindahkan
3.
Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan
4.
Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan
Untuk mengatasi masalah tersebut
perlu dilakukan aklimatisasi, dimana aklimatisasi dari tanaman berkayu
bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya, tergantung pada sistem yang
digunakan dan respon jenis tanaman terhadap manipulasi setelah dikulturkan.
Alternatif yang sering digunakan adalah dengan mengakarkan plantlet pada media
non agar secara in vivo, misal pada vermikulit atau media lainnya.
K. Teknik Aplikasi Aklimatisasi
Tanaman Anggrek
1.
Kriteria
planlet siap aklimatisasi
Adapun criteria planlet yang siap
Untuk diaklimatisasi adalah sebagai berikut:
a.
Organ planlet lengkap ( akar,
batang, daun )
b. Warna pucuk batang hijau mantap
artinya tidak tembus pandang
c.
Pertumbuhannya kekar
d. Akar memenuhi media
e.
Ukuran tinggi tanaman 3 – 4 cm
( tergantung jenis tanaman )
f.
Umur tanaman ( anggrek 4 bulan)
2. Prosedur aklimatisasi
aklimatisasi
1. Menyiapkan wadah
Wadah
merupakan tempat yang brisi media tumbuh tanaman hasil kultur. Jenis wadah yang
dapat digunakan meliputi ; Pot terbuat dari tanah liat atau plastik, sabut
kelapa tua, tempurung kelapa tua dan batang pakis. Wadah yang digunakan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
FHarus memiliki lubang pembuangan air
(draenase)
FHarus memiliki kemampuan untuk
mempertahankan kelembaban media tanam
FTidak mudah lapuk
FHarus bersih dan bebas dari berbagai
penyakit
FMudah diperoleh dan harganya murah
2. Menyiapkan media
Media
merupakan tempat tumbuh dan berdiri tegaknya tanaman. Persyaratan Media tanam
Untuk aklimatisasi adalah :
>Mampu mengikat air dan unsur hara
secara baik
>Harus memiliki kemampuan untuk
menjaga kelembaban
>Mempunyai aerasi yang baik
>Tahan lama /Tidak mudah lapuk
>Tidak menjadi sumber penyakit
>Derajat keasaman (pH) 5 – 6
>Mudah didapat dan harganya murah
Media yang
biasa digunakan Untuk tanaman hasil kultur meliputi ; Pakis ( anggrek ), Moss,
Potongan kayu pinus, Arang sekam (pisang), Pasir steril ( Jati) dan Sabut
Kelapa. Sebelum digunakan media tersebut harus diseterilkan selama 4 jam agar
serangga, mikroba, serta biji-bijian gulma mati.
3. Menyiapkan tempat
Tempat yang
digunakan Untuk memelihara tanaman hasil kultur harus mempunyai Intensitas
cahaya matahari : 35 – 45%, Suhu : malam 18-240 C, siang 21-320 C, Ketinggian
tempat : 0 – 700 meter DPL, Kelembaban : 60 – 85% dan mempunyai Aerasi /
sirkulasi udara. Dalam memilih tempat harus memperhatikan hal-hal berikut :
>Lingkungan harus bersih dan bebas
dari segala hama dan penyakit
>Kondisi lingkungan disesuaikan
dengan kondisi tanaman: suhu, kelembaban dan cahaya
3. Media Tumbuh
Tanaman juga memerlukan akar untuk
menyerap hara agar dapat tumbuh dengan baik, sehingga dalam tahap aklimatisasi
ini diperlukan suatu media yang dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat
menyediakan hara yang cukup bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi
tersebut. Media yang remah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan
aliran air, mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksin atau racun,
kandungan unsur haranya tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama.
Media harus bersifat menyimpan air
dan tidak mudah memadat. Media padat menyebabkan air tergenang sehingga aerasi
udara rendah. Gejala yang tampak, daun dan batang menjadi layu. Akar sehat
biasanya bewarna putih dan memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi rendah,
akar yang putih berubah jadi coklat lalu menghitam. Jumlah rambut akar
berkurang bahkan tak ada. Padahal ia berfungsi untuk menyerap hara. Selain
masalah aerasi, media padat juga mengundang bakteri dan cendawan penyebab
busuk.
Pakis baik untuk media anggrek
karena memiliki daya mengikat air, serta aerasi dan draenase yang baik. Pakis
juga sangat awet karena melapuk secara perlahan-lahan dan mengandung unsur hara
yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya. Arang merupakan media yang cukup
baik untuk digunakan karena tidak cepat lapuk dan tidak mudah ditumbuhi
cendawan dan bakteri. Namun, arang sukar mengikat air dan miskin zat hara.
Serabut kelapa mudah melapuk dan mudah busuk, sehingga dapat menjadi sumber
penyakit tetapi daya menyimpan air sangat baik dan mengandung unsur-unsur hara
yang diperlukan serta mudah didapat dan murah harganya.().
4. Bahan dan alat
Alat :
1. Pinset,
2. Hand sprayer
3. Pot Penampan
Bahan :
1. Air
2. 12 plantet tanaman anggrek hasil kultur in vitro
3. Akar pakis
4. Arang kayu
5. Teknik pelaksanaan
aklimatisasi
Adapun teknik yang digunakan dalam
aklimatisasi adalah sebagai berikut :
a. Planlet
Dikeluarkan dari botol
>Diisi air ke dalam bibit botolan,
kocok-kocok dan membuang air serta media agar
>Bibit dikeluarkan dari botol
menggunakan pinset / kawat pengait satu persatu
>Dicuci bibit hingga bersih dari
media agar
>Akar-akar yang terlalu panjang
dipotong dengan gunting
b. Direndam bibit dalam larutan
fungisida
>Bibit direndam selama 5 menit
>Ditiriskan bibit di hamparan kertas
koran
>Bibit dikelompokkan berdasarkan
ukurannya
c.
Diisi media dalam wadah
>Media sebelum digunakan direndam
dalam larutan fungisida
>Pot diisi dengan media ¾
tinggi pot
d. Ditanam bibit dalam pot
>Bibit ditanam dengan bantuan pinset,
letakkan secara tegak
>Bibit ditanam 8 tanaman per pot
e. Diletakkan pot bibit dalam green
house / ruang aklimatisasi
L. Contoh Aklimatisasi Planlet
Kentang
a.
bahan dan alat
bahan
dan alat yang diperlukan dalam prosedur aklimatisasi ini adalah
1. Pucuk
invitro kentang yang sehat dan yang
telah dihadapkan pada cahaya dengan intensitas tinggi.
2. Medium
tumbuh dapat menggunakan :
·
Medium pot jiffy yang merupkan medium siap
pakai
·
Medium campuran buatan sendiri terdiri
atas kompos steril tanah steril, dan pasir steril dengan komposisi 1:1:1
3. Botol
selai untuk menutupi pucuk agar kelembapan udara terjaga.
4. Baskom
plastik untuk tempat meletakan pot planlet.
5. Screen
house yang terbuat dari rumah plastik sederhana
6. Pinset
7. Kantong
plastik transparan ukuran besar untuk menyungkup baskom plastik
8. Hand
sprayer
b. cara kerja
1. Siapkan
medium tumbuh :
a) Isi
bak plastik dengan air sampai kira-kira 1 cm dari dasar bak, lalu masukan pot
jiffy di dalamnya.
b) Rendam
pot jiffy didalam air sampai mengembang.
2. Pucuk
kentang dikeluarkan dari botol dengan pinset secara hati-hati
3. Bersihkan
pucuk dari sisa-sisa agar-agar dengan mencucinya di kran atau gelas piala besar
sambil di kocok-kocok. Agar-agar yang tertinggar di planlet dapat menjadi
sumber infeksi patogen
4. Pucuk-pucuk
yang terlalu panjang dapat di potong menjadi dua bagian
5. Rendam
pucuk tersebut didalam larutan dithane M-45® atau Benlate® selama kira-kira 10
menit, lalu keringkan.
6. Setelah
kering tanamkan pucuk pada medium tumbuh (pot jiffy)atau campuran
kompos+tanah+pasir steril) dan letakkan di dalam baskom plastik.
7. Tutuplah
(sungkuplah) pot-pot di dalam plastik tersebut dengan botol selai
8. Keseluruhan
baskom selanjutnya disungkup dengan kantong plastik
9. Letakkan
baskom di dalam screen house
10. Lakukan
pemeriksaan setiap hari
11. Jangan
memberikan air secara berlebihan dan catat presentasi pucuk yang kering atau
mati.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tanaman hasil kultur jaringan tidak bisa langsung ditanam
begitu saja dalam pot. Pucuk-pucuk dan planlet in vitro yang diregenerasikan di
dalam lingkungan dengan kelembaban tinggi dan bersifat heterotrof, harus
berubah menjadi autotrof bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Tanaman
hasil kultur jaringan (planlet atau tunas mikro) perlu mendapatkan perlakuan
khusus untuk dapat hidup di lingkungan baru hingga menjadi bibit baru yang siap
ditanam di lapang. Proses pemindahan merupakan langkah akhir dari prosedur
mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi
merupakan tahapan kritis karena kondisi iklim dilapang sangat berbeda dengan
kondisi dalam botol, sehingga diperlukan penyesuaian. Aklimatisasi merupakan
proses yang penting dalam rangkaian aplikasi teknik kultur jaringan untuk
mendukung pengembangan pertanian.
Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang digunakan,
maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu
diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur
jaringan memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang
digunakan tanaman sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena
itu, apabila dipindahkan kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat
sendiri bahan organik secara endogenous.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonga,
J.M. 1985. Tissue Culture Technique. Di dalam J.M. Bonga and D.J. Durzan (Penyunting).
Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ,. Nedherlands.
2. Endin
Izudin. 2013. Teknik Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.Jurnal
Informasi Teknis Vol.11 No. 2, September 2013, 49 – 56
3. Gunardi, Tom. 1985. Anggrek untuk
pemula. Penerbit Angkasa, Bandung
4. Herawan,
T. dan Hendrati., R.L. 1996. Petunjuk Teknis Kegiatan Kultur Jaringan.Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih
Tanaman Hutan. Yogyakarta.
5. Husni, A., S. Hutami,
M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai
untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan Tahunan
Penelitian TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
6. Khan, S., 2007.
Callus induction,
plant and regeneration acclimatization of African Violet (Saintpaulia
ionatha) using leaves as explants. Universitas Karachi, Karachi-75270,
Pakistan
7. Kristina, N., 2008. Multiplikasi
tunas, aklimatisasi dan analisis mutu simplisia daun encok (plumbago zeylanica l.) asal kultur in vitro periode panjang. Bul.
Littro. Vol. XIX No. 2
8. Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro
Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. Netherlandsv
9. Nugroho,
A. dan. Sugito. H, 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta
10. Rahardja, PE. 1988. Kultur Jaringan
Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern . Penebar Swadaya. Jakarta.
11. Ritchie GA, KC Short, MR Davey.
1991. In Vitro Acclimatization of Crisanthemum and sugar beat plantlets by
treatment with paclobutrazol and exposure to reduced humidity. J of Exp Bot. 42
(12) : 1557-1563.
12.
Santana, D., 2010. Micropropagation
and acclimatization Bauhinia. African Journal of Biotechnology Vol. 10
13. Slamet et al. 2011. Perkembangan Teknik
Aklimatisasi Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In Vitro. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011.
14. Susanti D. 2005. Pengujian berbagai
media aklimatisasi untuk planlet tebu kultivar PA 117 dan PA 198. Skripsi.
Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.
15. Surata,
K., 2001. Sekilas Mengenai Cendana. Edisi khusus masalah cendana NTT. Berita Biologi.
Balai Penelitian dan Pengembangan Botani. Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor
16. Sitti Fatimah Syahid dan Natalini Nova
Kristina,2008. Multiplikasi
Tunas, Aklimatisasi Dan Analisis Mutu Simplisia Daun Encok (Plumbago zylanica L.) Asal Kultur In Vitro Periode Panjang.
jurnal Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Vol. XIX No. 2, 2008, 117 -
128