BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kultur
jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif melalui
perbanyakan tanaman dengan cara menisolasi bagian tanaman seperti daun, mata
tunas, akar, batang dll. Serta menumbuhkan bagian tersebut dalam media buatan
secara aseptik yang kaya nutrusi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup
yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan
beregenarasi menjadi tanaman yang lengkap.
Dalam
perkembangbiakan tanaman dengan teknik kultur jaringan membutuhkan sebuah
media. Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan kerja kultur jaringan adalah
pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang benar pada medium kultur.
Medium yang dipergunakan pada kultur in vitro tumbuhan ada
bermacam-macam. Pemilihan medium tergantung pada jenis tanaman yang digunakan,
selera, tujuan serta perhitungan masing-masing peneliti. Isi dan komposisi dari
medium kultur dirancang secara khusus untuk tujuan yang berbeda, media yang
digunakan biasanya terdiri atas garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu
diperlukan juga bahan tamabahan seperti agar, gula dan lain-lain. Zat pengatur
tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.
Untuk
mengetahui macam-macam medium dalam kultur jaringan maka penulis menuliskan
makalah yang akan membahas tentang medium kultur jaringan serta perananya dalam
kultur jaringan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis dapat memberikan beberapa
rumusan masalah diantaranya :
1. Apa
saja Macam-macam medium dalam kultur jariangan ?
2. Bagaimana
komponen medium dalam kultur jaringan ?
3. Bagaimana
substansi organik kompleks dalam medium kultur jaringan ?
4. Bagaimana
bahan pemadat dalam kultur jaringan ?
5. Bagaimana
pH medium dalam kultur jaringan ?
6. Bagaimana
zatpengatur tumbuhan dalam media kultur jaringan ?
7. Bagaimana
metode sterilisasi dalam medium kultur jaringan ?
1.3 tujuan penulisan
Untuk mengetahui macam-macam,
komponen medium, substansi organik, bahan pemadat, pH, zat pengatur dan metode
srerilisasi media dalam kultur jaringan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Media Kultur Jaringan
Media merupakan faktor penentu dalam
perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan
tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan
biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu,
diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media
yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan
autoklaf.
Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair.
1.
Media padat pada umumnya berupa
padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar.
2.
Media cair adalah nutrisi yang
dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu
bergerak, tergantung kebutuhan. Komposisi media yang digunakan dalam kultur
jaringan dapat berbeda komposisinya.
Perbedaan komposisi
media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang
ditumbuhkan secara in vitro. Media
merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Keberhasilan
perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan secara
umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur jaringan
sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan telah
ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk eksplan
ini biasanya sesuai dengan nama penemunya. Media tumbuh untuk eksplan berisi
kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam
besarnya kadar untuk tiap-tiap persenyawaan.
Media yang digunakan biasanya
berupa garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu diperlukan juga bahan
tambahan seperti agar-agar, gula, arang aktif, bahan organik dan lain-lain. Zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenis maupun jumlahnya.
Medium yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Medium yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan
autoklaf agar tidak terjadi kontaminasi dari bakteri maupun cendawan. Komposisi
media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda jenis dan
konsentrasinya.
Formulasi media kultur
jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi larutan yang digunakan untuk
hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya. Unsur-unsur hara
diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Komposisi media dan perkembangan formulasinya didasarkan pada jenis jaringan,
organ dan tanaman yang digunakan serta pendekatan dari masing-masing peneliti.
Beberapa jenis sensitif terhadap konsentrasi senyawa makro tinggi atau
membutuhkan zat pengatur tertentu untuk pertumbuhannya. Pada periode tahun
1930an, formulasi media terutama ditujukan untuk menumbuhkan akar, tuber dan
kambium. Media untuk penumbuhan akar yang dikembangkan oleh White 1934, pertama
White menggunakan media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose,
tetapi kemudian yeast ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu
pyridoxine, thiamine dan nicotinic acid.
2.1 Medium Dasar Kultur Jaringan
Ada beberapa macam medium dasar,
pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya. Beberapa diantaranya
adalah
1.
Media Knop
Dapat juga digunakan untuk
menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan
kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan
suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and
Roberts
2.
Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant
untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur
makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan
oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada media untuk tumor bunga
matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan
kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi
dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum
digunakan sekarang.
3.
Media
Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus
untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik
dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922,
menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk
perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata
dibutuhkan untuk perkembangan protocorm. Media Nitsch & Nitsch, menggunakan
NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman
artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM,
menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Pertumbuhan sel dari jaringan suatu organ dibandingkan dengan jaringan
tumor tanaman Venca rosea (Catharanthus roseus), menunjukkan bahwa penambahan
ammonium ke dalam media White yang sudah dimodifikasi, mempunyai pertumbuhan
yang lebih baik. Konsentrasi NO3-, NH4-, K+ dan H2PO4- yang diperoleh, hampir
sama dengan yang dikembangkan oleh Miller.
4.
Media Murashige
& Skoog (media MS)
Merupakan perbaikan komposisi
media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan
optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk
NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari
N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media
tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga
ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya
konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS
dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan
untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan
untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS,
sehingga dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara
lain media :
a.
Lin &
Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS,
dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya
10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan
senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin
untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh
Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969
dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
b.
Modifikasi
media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988)
untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan
NO3-, dan menambah
konsentrasi Ca2+ nya. Chaturvedi
et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+,
Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra. Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan,
ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap
adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K,
N, Zn dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C,
Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50%
dari Fe dan 13% dari PO4+, mengendap (Dalton et al, 1983). Pengendapan
unsur-unsur tersebut mungkin tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih
tersedia bagi jaringan tanaman dan pengaruh pengendapannya belum diketahui.
Untuk mengatasi pengendapan Fe, Dalton dan grupnya menganjurkan supaya
konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap.
5.
Media
Gamborg B5 (media B5)
Pertama kali dikembangkan
untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah
dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus
dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh
bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur
lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan
konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM
menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+
antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
6. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga
cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil. Konsentrasi
ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media
Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih
tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis
tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan,
tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk
pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman
tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman
legume.
7. Media WPM (Woody Plant Medium)
Yang dikembangkan oleh Lioyd
& Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang
lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan
dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari
sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman
hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
8. Media N6
Media N6 mempunyai ciri
perbandingan NH₄⁺ dan NO₃⁻ yang jauh perbandinganya. Amonium yang diberikan dalam bentuk
(NH₄)SO₄ hanya sebanyak 363 mg/l,
sedangkan KNO₃ 2830 mg/l.
Pada umumnya media kultur
jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar
adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro),
sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam
media dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama
penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan
memperoleh suatu hasil yang penting artinya.
2.3 Komponen
Medium dari zat-zat anorganik
A.
Unsur makro
Air merupakan zat terbanyak pada
tubuh tumbuhan, oleh karena itu air juga merupakan bagian terbesar didalam
medium kultur. Air selain sebagai bahan untuk membentuk material tubuh, juga
sebagai medium untuk reaksireaksi kimia dan fisika. Air juga berguna untuk
transport dan distribusi zat-zat yang terlarut didalamnya. Pada medium kultur
jaringan digunakan air murni yang sudah mengalami demineralisasi, deionisasi
dan didestilasi dengan gelas dua kali.
Kebutuhan
garam-garam mineral didalam jaringan kurang lebih sama dengan tanaman utuh.
Garam-garam mineral merupakan gabungan unsur-unsur esensial makro dan mikro.
Konsentrasi optimum dari tiap-tiap komponen untuk mencapai kecepatan
pertumbuhan yang maksimal sangat bervariasi. Menurut Gamborg dan Shylluk (1981)
biasanya berkisar antara 25-60mM. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup
besar, pada umumnya diberikan dalam bentuk persenyawaan. George dan sherrington
(1984) menyebutkan beberapa persenyawaan makronutrien yang umum digunakan pada
medium kultur jaringan, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2.
2H2O; MgSO2. 7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. 2H2O; Na2SO4;
(NH4)2SO4; NH4Cl; K2SO4.
1.
Nitrogen
(N)
Nitrogen diberikan dalam bentuk
persenyawaan yang bermacam-macam, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O;
NaNO3; NH4H2PO4; (NH4)2SO4; NH4Cl. Kebutuhan N terbesar adalah untuk menyusun
asam-asam nukleat, protein, sebagai koenzym atau persenyawaan lain yang
mengandung N seperti klorofil, alkaloid, derivat purin dan pirimidin dan
beberapa hormon endogen. Sumber nitrogen pada medium kultur adalah ion ammonium
(NH4)+ dan nitrat (NO3)-. Jumlah ion ammonium yang digunakan berkisar antara
2-8 mM, sedangkan nitrat berkisar antara 25-40 mM. Pengambilan unsur nitrat memerlukan
pH rendah, sebaliknya pengambilan ammonium menyebabkan pembebasan H+ sehingga
medium menjadi asam. Medium Murashige dan Skoog (MS) menyediakan nitrogen dalam
bentuk garam NH4NO3, ini merupakan strategi yang baik dan mempunyai keuntungan
ganda, karena selain sumber N nya lengkap juga dalam bentuk garam effeknya
terhadap penurunan pH medium berkurang (George dan Sherrington, 1984).
2.
Fosfor
(P)
Fosfor diberikan pada medium kultur
jaringan dalam bentuk persenyawaan KH2PO4 atau K2HPO4; NH4H2PO4; NaH2 PO4. Ion
PO- total yang diberikan pada medium bervariasi antara 0,5 - 20 mM/1. Unsur P
didalam sel diubah menjadi persenyawaan RNA dan DNA, zat-zat yang sangat
penting yang bertanggung jawab atas sifat-sifat keturunan. Unsur P diperlukan
sebagai aktifator ensim untuk memacu pertumbuhan pada jaringan meristematik. Kelebihan
unsur P dapat menghambat pertumbuhan eksplan, karena akan terjadi persaingan
penyerapan dengan unsur lain seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu).
3.
Kalium
(K)
Kalium diberikan pada medium dalam
bentuk KNO3; KH2PO4 atau K2HPO4, KCl; dan K2SO4. Ion K+ total yang diberikan
pada medium bervariasi antara 1,837-25.18 mM/1. Unsur K sangat diperlukan untuk
memacu pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil
serta untuk mereduksi nitrat (Kyte, 1983). Kalium berpengaruh pada hidratasi,
menambah atau mengurangi hidratasi pada misel seiiingga mempengaruhi keluar
masuknya nutrien ke dalam sel.
4.
Sulfur
(S)
Sulfur atau belerang diberikan pada
medium dalam bentuk MgSO4. 7H2O; (NH4)2SO4; K2SO4; FeSO4.7H2O; MnSO4.4H2O;
ZnSO4. 7H2O; CuSO4. 5H2O. Pemberian belerang berkisar antara 0,75 - 3 mM/1.
Sulfur ada didalam beberapa molekul protein dan koenzym. Memacu perkembangan
akar, juga berguna untuk ketahanan atau proteksi tubuh tumbuhan. Belerang
diserap dalam bentuk SO4
=,
antara lain dijadikan aneurin, biotin, persenyawaan asam amino yang ada belerangnya
misalnya, cystein, methionin.
5.
Calcium
(Ca)
Calcium atau kapur diberikan pada
medium dalam bentuk Ca(NO3). 4H2O; CaCl2.2H2O; Ca3 (PO4)2. Pemberian ion Ca
berkisar antara 1-3 mM/l. Pemakaian Ca-nitrat ada kelemahannya karena sangat
higroskopis, sehingga didalam wadahnya seringkali (dijumpai kristalnya berair.
Sebaiknya Ca-nitrat dibuat larutan stok dan disimpan didalam kulkas. Ca-fosfat
juga ada kelemahannya yaitu tidak mudah larut. Untuk melarutkannya, sejumlah
tertentu Ca-fosfat dimasukan kedalam Erlenmeyer 50 ml, kemudian diberi beberapa
tetes HCl 0,1 N campuran ini digojok sambil dipanasi sampai larut (tampak
jemih). Calcium diperlukan untuk pembentukan dinding primitive, sebagai Capectat
yaitu bagian integral dari dinding sel, penting sebagai kation selular dan kofaktor
enzym. Calcium mempengaruhi hidratasi, permeabilitas dan penyerapan nutrient.
Calcium juga mempengaruhi tingginya pH, menetralisir racun, misalnya pada asam
oksalat. Asam oksalat dengan Ca akan menjadi Ca-oksalat berbentuk kristal dan
diisolasi atau dimumifikasikan ikklam sel tertentu menjadi sel-sel kristal.
6.
Magnesium
(Mg)
Magnesium terutama diberikan pada
medium dalam bentuk MgSO4. 7H2O. Magnesium diperlukan sebagai elemen utama
dalam pembentukan klorofil, berperan penting sebagai aktivator ensim terutama
dalam proses fosforilasi dan sintesis protein dengan cara membentuk komplek
ensim-substrat.
B.
Unsur mikro
Unsur hara mikro adalah unsur yang
diperlukan dalam jumlah sedikit. Fungsinya belum diketahui secara pasti, tetapi
tidak adanya zat-zat ini dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Air dan bahan
kimia yang tingkat kemurniannya rendah seringkali terkontaminasi oleh unsur
hara mikro. Bentuk persenyawaan hara mikro yang umum digunakan pada beberapa
medium kultur menurut George dan Sherrington (1984) adalah: MnSO4.4H2O; ZnSO4.
7H2O; H3BO3; KI; CuSO4. 5H2O; NaMoO4. 2H2O; CoCl2. 6H2O; FeCl3. 6H2O; Fe III citrate;
FeSO4.7H2O; NaFeEDTA; Na2EDTA. 2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
1.
Besi
(Fe)
Besi diperlukan dalam jumlah sedikit
lebih banyak daripada unsur mikro yang lain, diberikan dalam bentuk chelat.
Pemberian Fe bersama-sama dengan NaEDTA dimaksudkan agar besi tetap pada
jangkauan pH yang luas dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat diserap oleh
jaringan tanaman. Fe berperan penting dalam sintesis klorofll, konfersi energi
pada fotosintesis dan respirasi dengan melakukan reduksi oksidasi, bagian dari
sitokrom. Besi diberikan pada medium kultur jaringan berupa FeCl3. 6H2O; Fe III
citrate; FeSO4.7H2O; NaFeEDTA 2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
2.
Boron
(B)
Boron diberikan pada medium kultur sebagai
asam borak (boric acid, H3BO3). Berperan dalam translokasi karbohidrat, juga
terlibat dalam difsrensiasi seluler dan perkembangan. Ikatan boron organis
memungkinkan adanya diferensiasi dan penyusunan struktur halus dari dinding sel
sehingga memudahkan transport karbohidrat dan penyerapan ion kedalam sel;
sebagai aktifator dan inaktifator bagi zat pengatur tumbuh. Kalau boron kurang
zat pengatur tumbuh menjadi terlalu banyak sehingga menghambat pertumbuhan.
3.
Molybdenum
(Mo)
Molybdenum diberikan pada medium
sebagai sodium molybdat (Na2MoO4. 2H2O) berpartisipasi pada konfersi nitrogen
ke ammonia dan fiksasi nitrogen, ikut dalam metabolisme protein, sintesis asam
askorbat, kofaktor enzim.
4.
Manganese
(Mn)
Manganese merupakan elemen esensial
yang terdapat pada membran kloroplas, berperan sebagai aktifator ensim dengan
bertindak sebagai perantara pada proses fosforilasi atau sebagai gugus redok
Mn++. Bahan pembentuk klorofil dan aktip dalam fotosintesa, metabolisme protein
dan pembentukan vitamin C. Pada medium kultur diberikan dalam bentuk MnSO4.
5.
Cobalt
(Co)
Cobalt merupakan elemen dari molekul
vitamin B komplek, esensial untuk fiksasi nitrogen. Pada medium kultur jaringan
diberikan dalam bentuk persenyawaan Cobalt Oiloride (CoCl2).
6.
Zincum
(Zn)
Zincum berperan sebagai aktifator enzim,
penyusun khlorofil, pemacu pembentukan zat pengatur tumbuh terutama IAA. Pada
medium kultur jaringan diberikan dalam bentuk one sulfate (ZnSO4)
7.
Cuprum
(Cu)
Cuprum merupakan bagian dari enzim,
Cu bereaksi menjadi komponen phenolase, lactase dan askorbat oksidase. Ikut
ambil bagian dalam proses fotosintesis dan reduksi nitrit. Cuprum diberikan
pada medium kultur jaringan dalam bentuk Cupric sulfate (CuSO4 5H20).
8.
Chlorine
(Cl)
Chlorine
sebagai ion berpengaruh terhadap aktifitas ensim, memacu proses fotosintesis.
Chlorine diberikan pada medium kultur jaringan berupa calcium chloride (CaCl2)
2.4 Komponen
Medium Dari Zat-Zat Organik
Zat-zat organik adalah persenyawaan
yang mengandung karbon, ditambahkan pada medium kultur jaringan berupa gula,
myo-Inositol, vitamin, asam-asam amino dan zat pengatur tumbuh. Zat-zat organik
tersebut biasanya tidak diberikan pada tanaman karena tanaman dapat mensintesis
sendiri, tetapi pada kultur in vitro, karena eksplan yang digunakan umumnya
berukuran sangat kecil dan tidak marnpu mensintesis sendiri semua zat-zat
organik tersebut, maka zat-zat organik harus ditambahkan pada medium.
1.
Gula
Tumbuhan dialam bebas mencukupi
kebutuhan gula dengan mengasimilasi CO2 pada proses fotosintesa, dengan
pertolongan klorofil dan sinar matahari, dijadikan glucose kemudian dijadikan
pati, selulose dan persenyawaanpersenyawaan lain. Pada kultur in vitro, sel
dan jaringan tumbuhan belum sempurna dalam melakukan asimilasi fotoautotrof,
sehingga diperlukan gula
sebagai
sumber karbon dan enersi. Selain sebagai sumber enersi bagi sel dan jaringan,
gula juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial
didalam medium. Gula pada umumnya diberikan pada medium kultur berupa sukrosa
atau komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa. Sukrosa
pada medium kultur ditambahkan sebanyak 30 gr/l. Glukosa atau D-glukosa
biasanya ditambahkan dengan konsentrasi 20 - 30 gr/l, tergantung dari jenis
eksplan. Sukrosa ternyata lebih berpengaruh dalam perkembangan kalus, sedangkan
pengaruhnya terhadap organogenesis belum dapat dipastikan (George dan
Sherrington, 1984). Pada kultur mikrospora beberapa spesies tanaman digunakan
maltosa, maltosa dihidrolisis lebih lambat dibandingkan dengan sukrosa, ini
memberi pengaruh yang lebih baik pada mikrospora yaitu dapat memacu
embryogenesis (Indrianto et al. 1999).
2.
Myo-Inositol
Myo-Inositol ditambahkan pada medium
untuk membantu diferensiasi dan pertumbuhan jaringan. Myo-Inositol ikut serta
dalam beberapa reaksi metabolik penting yang berhubungan dengan pembelahan sel.
Myo-Inositol merupakan
perantara
pada perubahan glukosa menjadi asam galakturonat juga sebagai prazat untuk
pektin dan penyusun dinding sel.
3.
Vitamin
Vitamin
ditambahkan pada medium untuk mempercepat pertumbuhan, diferensiasi kalus.
Vitamin berfungsi sebagai kofaktor atau bagian dari molekul kofaktor dari
reaksi-reaksi ensimatis penting, vitamin juga berfungsi protektif. Seperti
halnya zat pengatur tumbuh, vitamin juga mempengaruhi (menstimulasi) inisiasi,
pertumbuhan dan perkembangan akar. George dan Sherrington (1984) memasukan
beberapa macam vitamin yang umum digunakan pada berbagai medium dasar, antara
lain: Thiamin-HCl, Nicotinic acid, Pyridoxin-HCl, Ca Dpanthothenate, Folic
acid, Choline chloride, Riboflavin, yang kesemuanya merupakan anggota dari
vitamin B kompleks. Ascorbic acid dan adenin juga sering ditambahkan pada
medium. Vitamin labil terhadap pemanasan, dianjurkan untuk selalu menggunakan
filter steril jika akan ditambahkan pada medium. Thiamin merupakan vitamin yang
esensial terdapat pada hampir semua medium kultur jaringan tumbuhan, cenderung
mempercepat pembelahan sel pada meristem akar tetapi tidak berpengaruh terhadap
pemanjangan sel. Thiamin merupakan bagian prostetik yang terdapat didalam sel,
berperan sebagai koensim dalam reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat
dan memindahkan enegi. Thiamin diberikan dalam jumlah yang bervariasi dari
kirakira 0,1 sampai 30 mg/l (Doods dan Roberts, 1983). Nicotinic acid (niacin)
penting dalam reaksi-reaksi ensimatis disamping peranannya sebagai prekursor
dari beberapa alkaloid. Ascorbic acid sering ditambahkan pada medium, terutama
untuk mencegah terjadinya pencoklatan pada permukaan irisan jaringan yang
disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi senyawa polyphenol menjadi quinon
yang berwarna coklat, vitamin disini berfungsi sebagai antioksidan.
4. asam
amino dan sumber nitrogen lainya
Sumber nitrogen
organik yang paling banyak digunakan dalam media kultur adalah asam amino
campuran (casein hidrolisat), L-glutamin, L-asparagin, dan adenin. Casein
hidrolisat umumnya digunakan pada konsentrasi antara 0.05-0.1%. Asam amino
biasanya ditambahkan pada media terdiri dari beberapa macam, karena sering
diperoleh bahwa penambahan satu jenis asam amino saja justru dapat menghambat
pertumbuhan sel. Contoh penambahan asam amino dalam media untuk meningkatkan
pertumbuhan sel adalah glisin 2 mg/L, glutamin hingga 8mM, asparagin 100 mg/L,
arginin dan sistein 10 mg/L, dan tirosin 100 mg/L. Adenin sulfat juga sering
ditambahkan pada media kultur yang fungsinya dapat menstimulir pertumbuhan sel
dan meningkatkan pembentukan tunas.
2.5 Komponen Bahan Organik Kompleks
Arang aktif (activated charcoal) juga sering digunakan
pada media kultur. Beberapa hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang
menguntungkan dan juiga dapat merugikan. Pada kultur beberapa tanaman seperti
anggrek, bawang, wortel dan tomat dapat menstimulir pertumbuhan dan
diferensiasi, tetapi pada kultur tanaman tembakau, kedelai dan teh justru akan
menghambat pertumbuhan. Pengaruh arang aktif umumnya diarahkan pada salah satu
dari tiga hal berikut: penyerapan senyawa-senyawa penghambat, penyerapan zat
pengatur tumbuh atau menggelapkan warna media. Penghambatan pumbuhan karena
kehadiran arang aktif umumnya karena arang aktif dapat menyerap ZPT. NAA,
kinetin, BAP, IAA dan 2iP semuanya dapat terikat oleh artang aktif. IAA dan 2iP
merupakan ZPT yang paling cepat terikat oleh arang aktif. Arang aktif dapat
menstimulasi pertumbuhan sel umumnya karena kemampuan arang aktif mengikat
senyawa fenol yang bersifat toksik yang diproduksi biakan selama dalam kultur.
Konswentrasi aArang aktif yang ditambahkan kedalam media kultur umumnya
sebanyak 0.5-3%.
2.6 Bahan Pemadat dan Penyangga
Biakan
Media kultur jaringan tanaman dapat
dibuat padat atau semi padat, yaitu dengan penambahan bahan pemadat berupa
agar. Dibandingkan bahan pemadat lain, agar mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu (i) saat dicampur dengan air, agar akan terbentuk bila dilelehkan pada
suhu 60o-100oC dan memadat pada suhu 45oC;
(ii) gel agar bersifat stabil pada suhu inkubasi; (iii) agar
gel tidak bereaksi dengan komponen dalam media dan tidak dicerna oleh ensim
tanaman. Kualitas fisik agar dalam media kultur tergantung pada konsentrasi dan
merek agar yang diguinakan serta pH media. Konsentrasi agar yang digunakan
dalam media kultur berkisar antara 0.5-1%, dengan catatan pH media sesuai
dengan aturan. Penggunaan arang aktif
(0.8-1%) dapat mempengaruhi kepadatan agar
yang terbentuk.
Kemurnian agar yang digunakan dalam
media kultur juga merupakan faktor yang penting. Agar yang mengandung
garam-garam Ca, Mg, K dan Na dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam media.
Oleh karena itu penggunaan agar yang murni sangat diperlukan terutama untuk
tujuan percobaan. Untuk memurnikan agar dapat dilakukan dengan cara mencuci
dengan air destilasi selama 24 jam kemudian dibilas dengan ethanol dan
dikeringkan pada suhu 60oC selama 24 jam.
Bahan pemadat lain yang pernah
dicobakan adalah gelatin
pada konsentrasi 10%, akan tetapi terdapat kesulitan karen gelatin meleleh pada
suhu 25oC. Methosel dan alginat juga pernah dicobakan sebagai bahan
pemadat media, tetapi kedua bahan tersebut sulit penanganannya serta harganya
cukup mahal. Bahan lain yang dapat digunakan adalah agarose (konsentrasi
0.35-0.7%), dimana jenis agar ini banyak digunakan pada pekerjaan teknik kultur
protoplas. Saat ini bahan pemadat yang banyak digunakan adalah agar sintetik
yaitu Phytagel (produk Sigma Chemical) dan Gelrite (produk Kelco Corp.). Agar
jenis ini hanya digunakan 2-2.5 g/L dan menghasilkan gel yang bening yang cocok
untuk mendeteksi ada tidaknya kontaminan.
Gel agar
juga berfungsi sebagai penopang agar biakan atau eksplan yang ditanam dalam
media tetap pada tempatnya (tidak bergerak atau berpindah). Metoda lain yang
dapat digunakan untuk penopang atau penyangga biakan adalah jembatan kerta
filter (filter paper bridges), sumbu kertas filter (filter paper wick), busa
poliuretran, celophane berlubang dan poliester. Apakah eksplan akan tumbuih
lebih baik pada media agar
atau dengan penyangga, tergantung dari spesies tanaman yang dikulturkan.
2.7 Zat Pengatur Tumbuh
Terdapat empat kelas zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang penting dalam kultur jaringan
tanaman, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisik. Skoog dan Miller
adalah yang pertama melaporkan bahwa perbandingan auksin
dan sitokinin
menentukan jenis dan berapa besar proses organogenesis dalam kultur jaringan
tanaman. Auksin
dan sitokinin
yang ditambahkan kedalam media kultur mempunyai tujuan untuk mendapatkan
morfogenesis, meskipun perbandingannya untuk mendapatkan induksi akar dan tunas
bervariasi baik ditingkat genus, spesies bahkan kultivar.
Sitokinin
yang ditambahkan dalam media kultur
umumnya ditujukan untuk menstimulasi pembelahan sel, menginduksi pembentukan
tunas dan proliferasi tunas aksiler, dan untuk menghambat pembentukan akar.
Mekanisme kerja sitokinin tidak secara pasti diketahui, namun demikian beberapa
senyawa yang mempunyai aktivitas mirip sitokinin
diketahui terlibat dalam transfer-RNA (t-RNA). Sitokinin
juga menunjukkan dapat mengaktivasi sintesa RNA dan menstimulasi aktivitas
protein dan enzim
pada jaringan tertentu.
Selain nutrisi, zat pengatur tumbuh
sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan, perkembangan dan
diferensiasi. Zat pengatur tumbuh aktif pada konsentrasi rendah dan diproduksi
didalam tubuh tanaman itu sendiri (endogen). Untuk keperluan kultur jaringan
telah dibuat zat pengatur tumbuh sintetik, tanpa zat pengatur tumbuh
pertumbuhan eksplan akan terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Zat
pengatur tumbuh dikelompokan dalam beberapa grup: Auksin, Sitokinin,
Gibberellin, Abscisic acid, dan Ethylene.
1.
Auksin
Indole-3-acetic
acid (IAA) merupakan auksin alamiah yang terdapat pada sebagian besar tumbuhan.
Disintesis dari tryptophane terutama di primordia daun, daun muda dan pada
kecambah. IAA ditransport dari sel ke sel dengan arah basipetal (dari pucuk ke
akar). IAA berperan dalam mempengaruhi pemanjangan sel; pembelahan sel;
diferensiasi jaringan faskuler; inisiasi pembentukan akar; mempengaruhi
dominasi apikal; zona absisi pada daun dan buah; pembungaan; pemasakan buah,
dll. IAA mudah larut dalam alkohol. Penggunaan IAA pada medium kultur kerap
kali kurang menguntungkan karena mudah rusak oleh cahaya, oksidasi ensimatik
dan pemanasan pada saat proses sterilisasi dengan autoclave. Penggunaan auksin
sintetik lebih menguntungkan karena lebih stabil. Auksin sintetik yang umum
digunakan pada medium adalah: 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D);
1-naphthaleneacetic acid (NAA) dan indole-3-butyric acid (IBA). Beberapa
persenyawaan seperti dicamba (3,6-dichloro-O-anisic acid) dan picloram
(4-amino-3,5,6-trichloro-2-pyridinecarboxilic acid) pada konsentrasi tinggi
merupakan herbisida, digunakan sebagai auksin substitusi. Kultur in vitro
tumbuhan yang pada mulanya memerlukan auksin eksogen untuk pertumbuhannya,
secara gradual atau bahkan secara tiba-tiba dapat hilang dan tidak memerlukan
auksin lagi, hal yang demikian disebut sebagai habituasi terhadap auksin.
Penggunaan auksin secara tunggal pada umumnya sudah cukup mampu untuk
menginduksi pembentukan dan pertumbuhan kalus, tetapi untuk beberapa tanaman
yang rekalsitran akan lebih membantu jika menggunakan lebih dari satu jenis
auksin secara simultan. Pada kultur jaringan tanaman monokotil, terutama
rumput-rumputan dan palem, juga pada kultur in vitro umbi akar wortel,
memerlukan auksin sintetik seperti 2,4-D dengan dosis yang cukup tinggi.
Penghilangan atau pengurangan kadar auksin pada sub kultur berikutnya dapat
memacu produksi embrio somatik atau organ adventiv.
Pertumbuhan kultur juga dapat dipacu
dengan penambahan substansi yang dapat mengatur tingkatan IAA endogen misalnya,
dopamine dapat menghambat aktifitas IAA oksidase sehingga tidak terjadi oksidasi
terhadap IAA, akibatnya pertumbuhan jaringan dan organ pada kultur in vitro
menjadi lebih baik. Penghambat sintesis auksin seperti 5-hydroxy-nitrobenzyl
bromide (HNB) dan 7- azaindole memacu embryogenesis somatik pada kultur kalus
citrus yang telah mengalami habituasi.
2. Sitokinin
Sitokinin adalah derivat dari
adenin, kinetin (6-furfurylaminopurin) dan zeatin adalah sitokinin alami yang
umum digunakan secara meluas pada medium kultur. Sitokinin disintesis melalui
modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada ujung akar dan biji yang tumbuh.
Kebalikan dari auksin, sitokinin ditransport melalui xylem dari akar ke pucu k.
Sitokinin hanya aktip jika ada auksin, pemberian sitokinin bersama auksin pada
medium kultur dapat memacu pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin
mempengaruhi transport auksin, pertumbuhan kuncup lateral (mematahkan dominasi
apikal), perkembangan daun, menghambat proses penuaan daun dan mempengaruhi
perkembangan kloroplas. Sitokinin sintetik seperti N6-benzylaminopurine (BAP)
lebih sering digunakan pada medium kultur jaringan. Phenylurea, substansi aktip
yang terdapat pada air kelapa mempunyai efek yang sama dengan zeatin,
penggunaannya memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi. Thidiazuron
(N-phenyl-N-l,2,3-thiazol-5-ylurea), yang secara komersial digunakan sebagai
defoliant, karena kemampuannya untuk menstimulasi produksi ethylene, dapat digunakan
untuk memacu pembentukan dan proliferasi tunas in vitro. Substansi lain yang
mempunyai aktifitas seperti sitokinin adalah endosperm cair pada kecambah
jagung. Diferensiasi selular dan morfogenesis in vitro terutama dikendalikan
oleh interaksi antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan pada
medium kultur. Manipulasi rasio auksin: sitokinin dapat mempengaruhi
organogenesis, pada perbandingan auksin/sitokinin tinggi memacu pembentukan
akar, perbandingan yang sebaliknya akan memacu pembentukan tunas. Jika perbandingan
auksin sitokinin seimbang hanya terbentukkalus.
Gambar
3.1. Efek auksin + sitokinin (George dan Sherrington, 1984)
Ada
beberapa perkecualian:
·
Proliferasi tunas aksiler pada beberapa
spesies tanaman dapat dipacu dengan auksin bersama sitokinin.
·
Induksi kalus pada beberapa monokotil
dapat dipacu pada medium yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi tinggi
tanpa sitokinin.
·
Morfogenesis in vitro pada monokotil
dipacu pada medium dengan auksin konsentrasi rendah atau tanpa auksin.
3.
Gibberellin
(GA)
Pada
1926 Kurasawa mendapatkan kecambah padi yang tumbuh abnormal karena terinfeksi
oleh sejenis jamur Gibberella fujikuroy. Substansi yang menyebabkan pertumbuhan
seddling padi menjadi sangat cepat (abnormal) tadi diketahui sebagai gibberelic
acid (GA3). Gibberellin merupakan zat pengatur tumbuh yang dalam bentuk larutan
pada temperatur tinggi mudah kehilangan sifatnya sebagai zat pengatur tumbuh.
Gibberellin merupakan keluarga persenyawaan yang didasarkan pada struktur entgibberellane.
Ada 34 gibberellin yang telah diidentifikasi secara kimia, beberapa diantaranya
ditemukan pada embryo dimana dapat memicu produksi alfa amilase yang dapat
mengubah cadangan makanan pada biji menjadi gula sehingga dapat digunakan oleh embryo
untuk pertumbuhannya. Gibberellin disintesis dari asam mevalonat pada jaringan
muda dari tunas dan biji yang sedang berkecambah, ditransport di dalam xylem
dan phloem. Gibberellin berpengaruh pada pertumbuhan batang, pembesaran dan
pembelahan sel, induksi perkecambahan biji, produksi enzim selama
perkecambahan, pembentukan bunga. Seperti halnya auksin, gibberellin juga dapat
memacu pembentukan akar, George dan Sherrington (1984) mengatakan bahwa pacuan
pembentukan akar dapat terjadi karena gibberellin dapat menyebabkan peningkatan
jumlah auksin endogen. Pada medium kultur yang biasa digunakan adalah GA3.
4. Abscisic acid (ABA)
Abscisic acid (ABA) adalah
persenyawaan tunggal dengan berat molekul 264,31, larut dalam NaHCO3 cair,
kloroform, aceton dan ether. ABA disintesis dari asam mevalonat pada daun-daun
tua terutama sebagai respon terhadap stres air (kekeringan). ABA ditransport
dari daun melalui phloem, ABA dapat bergerak ke akar didalam phloem dan
kemudian kembali ke pucuk melalui xylem. ABA berperan pada penutupan stomata,
transport fotosintat kearah biji-biji yang sedang tumbuh. Pada kultur in vitro
tumbuhan, ABA digunakan untuk menginduksi embryogenesis mikrospora, ABA juga
dapat menghambat proses perkecambahan yang terlalu dini pada embryo somatik.
5. Ethylene
Ethylene adalah zat pengatur tumbuh
yang berbentuk gas, disintesis dari methionine didalam berbagai jaringan
tumbuhan sebagai respon terhadap stres. Pada umumnya gas ethylene disintesis
pada jaringan-jaringan yang mengalami senescence atau yang mengalami penuaan.
Ethylene bergerak secara berdifusi dari tempat sintesisnya. Perananya adalah
dalam membebaskan dormansi, diferensiasi dan pertumbuhan tunas, pembentukan
akar adventiv, pemasakan buah, induksi pembungaan dll. Ethylene jarang dipergunakan
pada kultur in vitro. Penggunaan ethylen inhibitor seperti silver nitrate atau
sulfat (ZnSO4), cobalt atau nickel chloride (CoCl2) dan asam salisilat pada
medium kultur dapat meningkatkan regenerasi pucuk dan produksi embryo somatik,
tetapi hasilnya sering kali koetradiktif. Ethylen dapat mempercepat perusakan
sitokinin dan menstimulasi perakaran pada kultur in vitro.
Zat pengatur
tumbuh yang umum digunakan pada kultur jaringan
Zat pengatur tumbuh
|
Singkatan
|
Berat Molekul
|
Abscisic acid
Indole-3-acetic acid
Naphthaleneacetic acid
2,4Dicholorophenoxyacetic
Indole-3-butyric acid
6-Furfurylaminopurine
6-Benzyl-aminopurine
N6(Δ2-isopentenyl)-adenine
Trans-6-(4-hydroxy-3-methylbut-2-enyl)
amino purine
Gibberelic
acid
|
ABA
IAA
NAA
2,4-D
IBA
Kinetin
BA
2Ip
Zeatin
GA3
|
264,3
175,2
186,2
221,04
203,2
215,2
225,2
203,3
219,2
346,4
|
2.8 pH pada medium
pH merupakan simbol dari derajat
keasaman atau kebasaan dari larutan yang ditunjukan dengan konsentrasi ion
hidrogen. pH tertentu diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tanaman agar tidak
mengganggu fungsi membran sel dan sitoplasma. pH yang diperlukan pada medium
kultur biasanya berkisar antara 4,6 -5,8. Pengaturan pH medium dilakukan dengan
menggunakan sodium hydroxyde (1M NaOH), digunakan untuk menaikan pH medium
(menjadi lebih alkalin, basa) dan hydrochloric acid (1M HC1), untuk menurunkan
menjadi lebih asam. pH medium harus dipertahankan konstan selama kultur
berlangsung karena akan mempengaruhi ketersediaan nutrien yang dapat diserap
oleh sel dan jaringan tanaman untuk pertumbuhannya. Ada suatu persenyawaan
komplek yang mampu membuat pH suatu medium tetap pada jangkauan tertentu,
misalnya besi yang berikatan dengan chelat. KH2PO4 juga dapat berfungsi sebagai
buffer. pH juga penting pada proses embryogenesis somatik pada kultur umbi akar
wortel, stadium preglobular embryo dapat dipertahankan dan ditingkatkan
jumlahnya pada medium dengan pH dibawah 4,5. Jika pH dinaikkan, embryo somatik
melanjutkan pertumbuhannya melalui tahapan-tahapan yang normal seperti pada
embryo zygotik, yaitu globular, jantung, torpedo dan cotyledonary (atau
equivalen dengan system yang berlaku pada monokotil).
2.9 Metode Sterilisasi
Sterilisasi merupakan tehnik
membersihkan dan membebaskan suatu benda dari segala kehidupan mikroorganisme
(protozoa, fungi, bakteri, dan virus). Sterilisasi adalah 7 tahap kunci
keberhasilan dalam metode kultur jaringan. Sterilisasi ini meliputi sterilisasi
ruangan, sterilisasi alat tanam, sterilisasi media tanam, dan sterilisasi
eksplan.
1. Sterilisasi
Ruang
Salah satu ruang yang harus dijaga
kesterilannya adalah ruang transfer yang digunakan untuk inokulasi, isolasi dan
subkultur. Ruangan ini biasanya tidak terlalu besar agar proses sterilisasinya
tidak lama dan mudah. Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyemprotkan
alkohol 90%, dan sterilisasi lantai dengan kain pel yang dibasahi dengan alkohol
90% atau phenol. Sterilisasi ini mutlak dilakukan menjelang ruang inokulasi
akan digunakan. Lampu ultraviolet dapat digunakan untuk sterilisasi ruang, dan
biasanya selalu dinyalakan apabila ruang inokulasi tidak digunakan, serta
dimatikan saat masuk dalam ruang ini (Edhi Sandra, 2013).
2. Sterilisasi
Alat inokulasi (LAF cabinet)
Sterilisasi laminar dilakukan dengan
spirtus atau alkohol 70%. Permukaan laminar sebelum mulai bekerja dibersihkan
dengan tisu yang sudah dicelupkan alkohol 70%. Laminar yang dilengkapi dengan
lampu UV, sebelum digunakan juga dinyalakan selama 1-2 jam untuk mematikan
kontaminan yang ada di permukaan laminar. Hal serupa juga dilakukan setelah
selesai melakukan penanaman atau inokulasi. Laminar harus tetap dijaga
kebersihannya.
3. Sterilisasi
Alat dan Media
Alat-alat logam dan gelas yang akan
digunakan dalam kultur jaringan dapat disterilkan dengan autoclave.
Alat-alat gelas dan logam disterilkan dengan autoclave pada temperatur
121oC dan tekanan 1 atm, selama 30 menit, sedangkan sterilisasi bahan atau
media kultur selama 15 menit. Alat- alat seperti pinset dan scalpel selain
disterilkan dengan autoclave dapat dilakukan dengan pembakaran di atas
api bunsen. Botol-botol yang akan 8 disterilisasi sebelumnya ditutup dengan
aluminium foil atau plastik dan diikat dengan karet. Aquadest disterilkan
seperti sterilisasi alat selama 30 menit.
4. Sterilisasi
Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang
akan dikulturkan. Bahan eksplan dapat berupa organ, jaringan, maupun sel.
Eksplan dari organ lebih mudah dikulturkan, misalnya : daun, batang, akar.
Metode sterilisasi setiap eksplan berbeda, tergantung pada jenis tanamannya,
bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaannya, umur tanamannnya,
kondisi tanamannnya (sakit atau sehat pada saat pengambilan), musim saat
pengambilan, dan lingkungan tumbuhnya. Pada prinsipnya, sterilisasi eksplan
adalah mensterilkan dari kontaminasi mikroorganisme, tanpa mematikan eksplannya
(Edhi Sandra, 2013).
Pada metode kultur jaringan untuk
perbanyakan anggrek, eksplan yang digunakan adalah biji anggrek yang berasal
dari buah anggrek yang sudah tua dan belum pecah. Kondisi buah yang masih muda
atau buah tua yang sudah pecah akan berbeda tehnik sterilisasinya. Buah anggrek
yang sudah tua dan belum pecah, sterilisasinya dengan cara membakar buah di
atas api bunsen, edangkan sterilisasi buah anggrek yang tua dan sudah pecah
dilakukan dengan klorox. Setelah disterilisasi, buah disayat secara aseptik dan
diambil bijinya untuk ditanam di media kultur (Edhi Sandra, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Media
merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Media dalam kultur jaringan menurut
asal penemunya terdiri atas Medium Murashige dan Skoog (MS)
(1962), medium yang paling populer digunakan untuk hampir semua macam tanaman,
terutama tanaman herbaceus. Medium ini paling banyak digunakan untuk kultur
kalus dan tunas, mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi, dan senyawa
N dalam bentuk ammonium dan nitrat. Medium Gamborg (B5) (1968), digunakan untuk
kultur suspensi sel kedele, alfalfa dan legume lain. Medium White (W63) (1963),
merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah,
digunakan untuk kultur akar. Medium Vacint dan Went (VW) (1949), digunakan
untuk kultur embryo anggrek. Medium Nitsch dan Nitsch, digunakan untuk kultur
mikrospora dan kultur sel pada tembakau Medium N6, Chu (1978), digunakan untuk
kultur jaringan serealia terutama padi. Medium WPM (Lloyd dan McCown, 1980),
untuk tanaman berkayu. Medium Kao dan Michayluk (1975) digunakan untuk kultur
protoplas Cruciferae, Grarmneae dan Leguminosae.(George & Sherrington,
1984).Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis
tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam
mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan
seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang
ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan
tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi
ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang
digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Daftar Pustaka
Edhi Sandra .2013.
Cara Mudah Memahami dan Menguasai Kultur Jaringan. IPB Press.
Endang G. Lestari.
2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur
Jaringan. Jurnal Biogen 7 (1):63-68
Hartmann, H.T.,
D.E. Kester, F.T. Davies Jr., and R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation: Principle
And Practices. Sixth Ed.
Pierik, R.M.L.
1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers.
Dordrecht.The Netherlands.
No comments:
Post a Comment